Kami, Korban Keegoisan

2.2K 481 13
                                    

Aku benci Rania.

Kenapa?

Rania kerap kali membanggakan ayahnya padaku. Membuatku yang yang tidak punya ayah--kata ibu, ayah pergi saat aku kecil--kesal setengah mati.

Selalu membelikan sepatu baru-lah, gadget terkini-lah, sampai-sampai, kegiatan ayahnya mengelus kepalanya setiap malam pun Rania ceritakan padaku. Sambil tertawa-tawa riang pula. Seperti tengah mengejekku saja!

Sore ini, aku tidak tahan lagi. Sehingga aku menceritakan keluhanku pada ibu. Walaupun kelihatannya ibu tengah sibuk dengan pakaian yang ia kenakan. Karena sesekali, kulihat ibu terus menerus mematut diri di depan cermin.

"Ibu udah cantik kok, emang mau ngapain sih?" tanyaku bingung.

Ibu tersenyum senang dan segera menyuruhku untuk mandi. Katanya ada tamu penting yang akan datang sebentar lagi.

Aku mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi dengan bersungut-sungut. Kapan aku punya orang yang mau mendengarkan keluh kesahku, sih?

***

"Nah, Sefa, kenalin, ini anak Om Rana, namanya Rania, dia seumuran sama kamu, kok, kalian akan jadi saudara bulan depan, main dulu ya, ibu mau ngobrol sama Om Rana dulu."

Tinggal aku dan Rania di ruang tamu yang masih saling menatap satu sama lain, seolah kami baru saja dibangunkan dari mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

"Kok...?" Aku tidak sanggup berkata-kata. Apa-apaan itu, saudara? BULAN DEPAN?

Namun Rania hanya menghela napas lalu duduk di lantai rumahku. "Ayahku...ayah terbaik se-semesta, kok! Sumpah! Dia...dia selalu ngelus kepalaku kalau malam!" Rania menenggelamkan wajahnya di antara lipatan lengan.

Lalu dia melanjutkan dengan terbata-bata. "T-tapi, itu semua terjadi setelah bunda teriak-teriak ke ayah..."

Aku terenyuh melihatnya seperti itu. Aku segera memeluknya dan merasakan bahunya bergetar.

"Maaf, aku bohong ke Sefa, ayahku...ternyata nggak...sebaik itu..."

Aku menarik napas dan menatap kosong pintu kamar ibu yang tertutup rapat. Entah apa yang ibu bicarakan dengan ayah Rania.

"Ayah kamu baik, Ran, cuma..."

Rania mendongak dan menatapku pias. "Cuma?"

Aku memejamkan mata sejenak lalu menatap Rania, mencoba meyakinkannya.

"Cuma kadang...orang dewasa agak membingungkan. Dan kita belum bisa mengerti mereka, Ran."

Ya, orang dewasa. Dan segala hal yang membingungkan kami, para anak-anak, yang menjadi korban keinginan egois mereka.

File 003: Orang Dewasa Yang Membingungkan,
Fin.

Tawa [END]Where stories live. Discover now