Terkoyak

1.4K 390 40
                                    

"Psst, nomer ini apaan, Fen?"

"Yang bukan ciri demokrasi terpimpin apaan aja woy?"

"C Nam! Eh kalo soal gue apaan jawabannya? Coba cari di hape lo deh."

Aku melirik ke tempat di mana guruku berada. Rupanya pria tambun yang sudah menginjak umur limapuluh tahun itu tengah tertidur sambil duduk.

Ulangan harian menggunakan komputer sekolah adalah hal terakhir yang kuinginkan di dunia ini. Apalagi, saat ini aku mendapat tempat di mana kanan-kiri-depan-belakang-ku sibuk bertanya sana-sini. Membuat konsentrasiku untuk mengingat hafalan semalam suntuk buyar seketika.

"Ann, lo tau jawaban yang ini nggak?" Aku menoleh saat merasakan lenganku dicolek dari samping. Ada Damira yang tengah menunjuk layar komputernya.

Aku mengerutkan kening membaca soal tersebut. "Sori, gue juga nggak ngerti soal itu, Mir." Damira terlihat lesu seketika lalu membalik badannya ke arah teman-teman sekelas yang lain yang sibuk dengan ponsel mereka dan mesin pencari di internet.

Aku menghela napas perlahan. Beruntung, Damira menanyakan soal yang tidak kuketahui. Karena kalau aku mengetahui jawabannya, apa aku harus tetap memberitahukannya pada Damira?

Bukankah ... itu hal yang salah? Namun kalau aku tidak memberitahunya, maka Damira akan mencercaku sebagai orang pelit, bukan?

Tiba-tiba, aku merasakan pundak kiriku disentuh. Kali ini, ada Erlen yang memasang tampang memohon seraya menunjuk layar komputernya.

Ah, rupanya keberuntunganku sudah habis. Itu soal yang kudapatkan, bahkan kuketahui jawabannya dengan pasti.

***

"Yah..."

Layar komputer di hadapanku menampilkan angka enampuluh delapan. Jauh di bawah ekspektasiku. Padahal, semalam aku sudah bangun pukul satu pagi untuk me-review materi ulangan ini.

Diam-diam, aku melirik layar komputer di sebelah kanan dan kiriku.

Erlen terlihat biasa saja dengan nilai delapanpuluh lima-nya. Tentunya berasal hasil tanya sana-sini. Sedangkan Damira, dia menghela napas lega melihat layarnya yang menampilkan angka sembilanpuluh. Hasil membuka ponsel di menit-menit terakhir.

'Nggak apa-apa, pakai usaha sendiri kok.' Aku berusaha keras merapalkan kalimat tersebut di benak, tak lupa aku langsung menutup tab e-learning sekolahku guna mengenyahkan angka enampuluh delapanku.

"Yak yang remedial ada...satu, dua, tiga...empat, oke empat orang, nanti malam saya buka lagi linknya, kalian kerjakan di rumah ya." Bel tepat berbunyi setelah guru Sejarahku menyelesaikan kalimatnya. Membuat hampir seluruh teman sekelasku beranjak pergi dari laboratorium komputer untuk kembali ke kelas.

Aku memilih untuk menunggu agar tidak berdesak-desakkan keluar dari ruangan. Setelah lengang, aku berjalan lunglai menyusuri koridor.

Tep.

"Berapa, Ann?" Sierra menepuk bahuku seraya berusaha mengimbangi langkahku. Aku hanya memberikan seulas senyum tipis yang dibalasnya dengan anggukan kepala. Dia sudah terbiasa mendengar kabar langganan remedialku sejak kelas sebelas.

"Lo kenapa sih nggak mau buka hape aja? Atau nanya yang lain? Pasti dijawab kok sama mereka!" ujar Sierra gemas. Aku mengendikkan bahu acuh.

"Gue ... entahlah, nggak mau aja," jawabku singkat. Sierra menggelengkan kepalanya.

"Kira-kira, sampai kapan idealisme lo ini bertahan, ya?"

Aku menghiraukan gumaman Sierra. Lebih memilih untuk memikirkan pelajaran selanjutnya.

***

"Ranking lima terbawah? Hebat, dia tinggal sama kamu jadi begini, ya."

Wanita yang sudah menginjak umur limapuluh tahun itu menatapku dan Ayahku dengan tatapan menyebalkan. Aku melirik sekilas Ayahku yang hanya menghela napas. Tidak memberikan pembelaan padaku seperti biasanya. Meskipun Ibuku yang ada di depannya seolah ingin mencerca kami lebih dalam.

Ya, dia Ibuku. Wanita yang setahun silam meninggalkan aku dan Ayahku untuk menikahi pria lain yang lebih kaya raya dibandingkan Ayah. Ah sudahlah, tidak ada gunanya mengungkit masa lalu.

Setelah Ibuku pergi, tidak biasanya Ayah memusingkan nilai-nilaiku yang di bawah standar teman-teman sekelas.

"Kamu kenapa nggak pernah nggak remed, Ann? Teman-teman kamu aja bisa--"

Nah, aku mulai membenci kalimat yang ia lontarkan. Ayah tidak tahu saja kalau aku sampai jungkir-balik hanya untuk mendapatkan nilai enampuluh delapan sedangkan teman-temanku dengan modal ponsel mereka dapat dengan mudah memilih 'nilai-berapa-yang-mereka-inginkan'.

"Jadi Ayah mau aku dapet nilai bagus, apapun caranya?" tanyaku asal. Berharap Ayah menghentikan keluhannya yang membuat kepalaku pening.

"Ya. Lagipula Ayah udah lelah dengan grup orangtua yang kadang menjatuhkan kamu."

Aku tertegun menatap Ayah yang kembali menghela napas frustasi.
"Jadi Ayah malu sama aku?" Aku dapat mendengar suaraku bergetar. Dengan cepat, aku beranjak pergi ke kamar. Aku tidak ingin mendengar jawabannya.

Karena dengan Ayah yang tidak berusaha menampik kalimatku dan hanya terdiam di ruang tamu, sudah cukup untuk memberiku jawaban.

***

"Nyonya! Ada banyak polisi dan orang-orang mengaku sebagai penyidik korupsi memaksa untuk masuk!" Salah satu pelayan di rumahku mendatangiku dengan tergopoh-gopoh. Ah, peristiwa ini mengingatkanku akan kenangan masa SMA yang menjengkelkan.

SREKK!

"Ponsel kamu saya sita sampai orangtua kamu datang sendiri untuk mengambil ponselmu, dan anak-anak! Jangan meniru perbuatan Ann yang tidak terpuji! Bagaimana nasib negara ini kalau anak-anak yang mencari jalan pintas seperti Ann berkeliaran?"

Rasanya aku ingin tertawa keras-keras mengingat ucapan guruku yang disampaikannya ketika semua anak menyembunyikan ponsel dan kertas contekan mereka, berusaha memasang tampang mendengarkan baik-baik kalimat guru kami. Hari itu, aku sedang sial saja. Tidak semahir yang lain ketika menyontek.

"Mereka datang dengan surat penangkapan keterlibatan Nyonya di kasus E-Card!"

Aku menarik napas panjang. Kemudian, aku melirik setumpuk berkas-berkas yang akan menjadi amunisiku menghadapi orang-orang yang menunggu di balik pagar mewahku.

"Biarkan mereka masuk," Titahku, lalu tersenyum tipis.

"Saya disuruh Damira untuk mencari jawaban di internet, Bu! Karena di kertas contekan Damira nggak ada jawaban dari soal ini!"

Semua kepala menoleh kepada Damira yang memucat. Guruku menggelengkan kepalanya dan lantas memeriksa laci Damira. Diam-diam, aku tertawa hambar menatap wajah Damira yang semakin memucat.

Aku belum tamat. Dan aku tidak akan tamat semudah itu.

File 007: Kejujuran yang Terkoyak,
Fin.

Tawa [END]Where stories live. Discover now