Pertemuan Pertama Yang sangat Biasa

27 2 0
                                    

Part 3

"Tadi Dika kesini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tadi Dika kesini. Mau pamit. Dua Minggu lagi dia berangkat ke Boston. Ada perusahaan yang mau membiayai lanjutan risetnya."

Kalimat Bapak datar saja. Akupun cukup menunduk saja. Tak sanggup menatap mata Laki-laki yang berwajah muram disebabkan olehku. Ya. Olehku. Aku tak kaget tentang Boston. Aku tau persis itu impian hidup Dika. Tak hanya sekali dia ceritakan padaku tentang kesungguhan risetnya.

Meski aku tak paham betul tapi aku tahu, aku bangga memiliki dia.
Laki laki yang kusebut aneh. Misterius dan tak neko neko. Tetapi ketika punya satu impian, dia gadaikan seluruh waktu pikiran dan tenaga untuk meraihnya.

"Aku tidak ingin pacaran Aku sedang mencari pendamping hidup. Apakah kamu mau menikah sama aku?"

To the point. Khas anak teknik. Cukup membuatku kaget dalam sepersekian detik. Baru mengenalnya dua bulan. Dia sudah mengajak menikah? Aneh kan? Berkenalan juga karena sebuah accident yang membuat luka.

Ibuku dan ibunya Dika berteman baik. Ibu selalu saja menceritakan tentang Dika dan keluarganya. Ibu selalu saja mereview jaman itu saat ibuku dan Ibunya Dika bertetangga. Sama sama mengontrak sebuah rumah di Rawamangun. Empat tahun bertetangga. Sama sama orang rantau.

Sampai aku lahir, lalu keluarga Dika Pindah membeli rumah. Dan tak lama setelahnya, Bapak juga mengambil KPR di perumahan tempat kami tinggal sekarang. Aku bosan dengan cerita Ibu. Aku malas menanggapi karena aku tahu ujungnya.

"Kamu sudah hampir tigapuluh tahun. Adikmu sudah mau punya anak. Ibu Bapak sudah tua. Pasca sarjana hampir selesai. Apa salahnya kan Berkenalan dulu. Cuma kenalan sama Dika dan keluarganya, Ibu dan Bapak juga sudah lama tidak bertemu mereka. Tapi mama tahu persis. Tante dan om Triawan orang baik."

Aku keukeuh pada pendirianku. Aku tak mau dijodohkan. Aku tidak mau menikah sebelum kelar tesisku. Dan aku menolak pertemuan itu.
Berulang Ibu menjelaskan dan berulang pula aku tak bergeming. Dua kakakku dan satu adikku pun terus membujukku.

"Kamu gak Kasihan ibu. Gagal ginjalnya sudah cukup membuat beliau menderita. Apa salahnya membahagiakan Ibu?"

Lalu apa mereka pikir aku hanya menyusahkan Ibu? Tak pernah membahagiakan Ibu? Aku hanya anak benalu? Bapak memilih diam. Bapak tahu benar karakterku. Keras mauku tak akan patah dengan paksaan yang keras juga.
Meski pada akhirnya keputusanku menolak perkenalan itu sungguh aku sesali.

Dan pada akhirnya kubenarkan semua kata kata kakak kakak dan adikku meski terlambat. Karena penolakanku berujung pada diamnya Ibu. Diamnya Ibu berujung pada kondisi kesehatany. Karena kecewa padaku Ibu jadi susah makan dan tak nyenyak tidur tapi ibu diam tak mengeluh.

Aku bersalah sungguh pada akhirnya. Ibu diam padaku hingga Ibu masuk ruang ICU. Ibu diam padaku hingga Bercucuran airmataku memohon maaf. Tapi ibu sudah diam tak menanggapi. Hanya nafas satu satu kusaksikan keluar dari mulut Ibu. Aku terpaku penuh luka mengantar kepergian Ibu. Pergi untuk selamanya.

Adikku berteriak meraung raung menyalahkan aku. ya Aku penyebab meninggalnya Ibu. Aku anak ketiga yang masih saja melajang. Dua kakak laki-laki sudah berkeluarga. Setahun lalu adik perempuanku juga menyusul. Jadi mungkin wajar Ibu mengkhawatirkanku.

Hanya saja aku yang masih dingin, beku. Aku belum membuka diri untuk sebuah kata yaitu lakilaki. Setelah Pengkhianatan Sendi, aku harus tahu diri. Aku cukup bodoh karena menjadi wanita lugu yang akhirnya menjadi pelajaran yang sangat pahit.

Betapa tidak, Aku, Sendi dan Riana. Seangkatan di pasca sarjana. Cukup dekat dalam dua tahun pertemanan kami. Riana satu kantor dengan Sendi. Mereka kukira hanya partner kerja. Aku bodoh karena tak mampu menangkap sinyal bahwa telah lama Riana jatuh hati pada Sendi. Gadis cantik dan lincah seperti Riana mudah akrab dengan siapapun.

Pun kalau kulihat dia akrab dengan Sendi aku tak pernah curiga. Keluguanku terus berlanjut saat sering Riana bercerita, Sendi dan Riana sering ke luar kota bersama. Dan aku tak pernah curiga. Aku kira, aku mempercayai Sendi. Terus begitu, hingga aku sendiri sesekali mengusik Sendi. Setelah pertunangan, kapan mulai merencanakan pernikahan?

Berawal dari itulah, Sendi terus berkelit dengan beribu alasan yang menurutku mulai tak masuk akal. Dan sebagai wanita terhormat yang selalu memegang prinsip, aku tak suka dan tak mau terus menerus dalam ketidakjelasan. Aku beranikan diri mempertegas statusku. Aku bertanya pada Sendi, apa maunya sebenarnya? Apa harapan dan keinginannya terhadap hubungan kami? Pertunangan tidak pernah legal dalam hokum agama maupun hokum Negara. Maka aku ingin sebuah kepastian.

Di luar dugaanku. Sendi menunduk lama. Diam tak berkata apa apa. Tak seperti biasanya, biasanya dia akan mengeluarkan argument nan megah dan sempurna. Tapi kali ini dia menunduk saja. Kian lama kian kunanti, tak kunjung ada jawab. Lalu kalimat tegasku kutata hati hati, kukatakan padanya.

"Lebih baik kita akhiri, berpisah atau menikah? Silahkan Kamu yang memilih?"

Tiba tiba Sendi bergetaran memohon maaf. Maaf yang berulang ulang. Aku tak mengerti. Apa yang sudah terjadi?

"Riana Hamil."

Aku yang lugu ini masih tak jua mengerti. Riana hamil, Riana belum menikah, belum punya pacar. Kami bertiga bersahabat. Lalu Sendi bilang Riana hamil? Hamil anak si... si.. apa?

Dan kurasa palugada memukul telak di kepalaku. Ooh betapa bodohnya aku. Betapa tak tahu ada banyak rahasia antara Sendi dan Riana. Sempurna sudah keluguanku. Dengan segala sisa ketidakberdayaanku, akupun undur diri. Tak ada lagi yang tersisa bukan?

Sejak itulah aku merasa diri lugu ini tertipu laki laki. Sungguh mempermalukan diri dan keluargaku saja. Aku harus tahu diri, aku ingin menjadi diri sendiri saja. Biarlah aku jadi dingin terhadap laki laki. Biarlah aku tak sedang ingin membuka diri dengan siapapun jua, aku ingin bahagia dengan apa adanya diriku.

Berharap kondisiku ini bisa dipahami Bapak Ibu dua kakak dan adikku. Berharap mereka member sedikit ruang kebebasan untukku. Aku sudah mandiri dengan pekerjaan, aku biayai sendiri kuliahku. Aku hanya ingin bahagia.

Dan Tuhan menegurku dengan kepergian Ibu. Ibu yang sangat aku cintai. Ibu adalah wanita terhebat di hidupku. Setia mendampingi Bapak yang hanya pegawai biasa di perusahaan garmen. Membesarkan 4 anak membiayai sekolah hingga sarjana dengan segala keterbatasan. Kami biasa hidup sederhana. Apa adanya. Kegagalan hubungan dengan Sendi sangat membuat Ibu dan Bapak kecewa. Tapi justru merekalah yang membesarkan hatiku.

Aku bersyukur memiliki mereka yang full support. Sampai kini kusesali adalah karena hadirnya sosok Dika dan keluarga Triawan yang akhirnya menimbulkan permasalahan antara aku dan Ibu. Aku terluka, aku sesungguhnya kecewa. Jelas aku bersalah pada Ibu.

Pun saat pertama bertemu Dika dan keluarganya saat mereka datang takziah, luka dan rasa bersalah itu terus menderuku. Tante Triawan yang ramah. Om Triawan yang sudah setua Bapak harus selalu bersama kursi rodanya. Dan Dika adalah anak tunggal mereka. Tak banyak bicara dan duduk tenang di sebelah Om Triawan.

Bapak dan om tante Triawan asik bernostalgia. Aku tak duduk sepenuhnya di tengah mereka. Beberapa teman juga masih datang takziyah. Aku masih tak terlalu peduli dengan laki laki Ganteng dan Tinggi lulusan Luar negeri itu. Pertemuan pertama yang sangat biasa.

**

"Aku Dika, aku ingin bertemu, aku ingin bicara."

Pesan singkat dismartphone mengejutkan aku. Berpikir panjang harus kubalas apa. Dan akhirnya aku putuskan membiarkan begitu saja. Sampai beberapa hari setelah pesan itu tak berbalas, lagi dia mengejutkan aku. Wajah ganteng itu tiba tiba sudah berada di lobi kantorku. Sungguh laki laki yang keras kepala.


SERIBU RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang