Menyesali Kenangan

12 1 1
                                    

Part 19

"Kok ketawa sih.. lucu ya."

"Bukan lucu tapi aneh!"

"Anehnya dimana?"

"Punya kenangan manis apa sih kita? Lalu dengan mantapnya kamu bilang tadi, mau ga kalau kita serius?"

"Aku gak mau pacaran Ya. Aku sedang mencari pendamping hidup. Mau ga kamu menikah sama aku?"

"What? Hahahaha. Lucu. kalau yang ini lucu aselik."

"Dih. ketawa dia. " Dika menyahut tak mengerti.

Ekspresi Wajahnya sangat serius tapi terlihat begitu lugu. Sungguh funny face. Lalu tawaku yang berderai kuhentikan demi melihat Dika yang tetap dengan ekspresi seriusnya. Lawakan macam apa sih ini? Pacaran aja kagak lalu sekarang dia ajak aku menikah? Betapa lucunya. Ya kan ya kaaan???

Dika masih duduk tak jauh dari aku. Tempat favorit saat Dika ke rumah adalah teras samping. Entah kenapa setelah Isya di masjid Bapak belum juga pulang. Jadilah kami hanya berdua. Lilia ada di dapur menyiapkan makan malam, hari ini week end jadi suami Lilia ada di rumah juga.

"Kamu mikir ga sih dengan apa yang barusan kamu katakan?" kataku mengkonfirmasi.

"Udah seribu kali aku mikirnya."

"Ini serius?"

"Serius Tia, sangat serius!"

"Kamu kan tahu, aku udah pernah bilang aku ingin menyelesaikan tesisku. Jadi aku gak kepikiran sama sekali trus tiba tiba kamu ngomong kayak gini, kok bisa sih?"

"Kamu tahu gak Ya, bahwa hidup itu indah karena ada makna. Kamu buat aku adalah bagaimana memaknai hidup, meyakinkan kamu bahwa aku bukan laki-laki manja yang nikmat bermewahan dengan kekayaan orangtua seperti katamu. Delapan tahun bertahan di Boston bukan hal mudah, mungkin tak beda dengan kamu sekarang. Pagi siang sore malam, tidak ada kata santai. Aku bekerja di sebuah perusahaan IT di Boston, untuk membiayai hidupku. Belajar mandiri sejak memutuskan tidak menggunakan uang dari orangtua. Padahal kuliah saja sudah seperti labirin waktu yang berputar putar tak pernah terlihat ujungnya. Membaca buku, membuat jurnal, presentasi, membuat laporan. Tugas baru lagi, cari dan baca buku lagi, membuat artikel lagi, presentasi dan seterusnya. Habis delapan tahunku hidup seperti itu. Mana pernah aku bersantai menikmati kekayaan?"

"Pastilah ada kebanggaan. Berlibur menikmati salju. Pesiar di hampir seluruh negara bagian Amerika. Tapi itu sebenarnya hanya semu. Sekedar kabur dari rutinitas tugas kuliah dan tugas pekerjaan yang membuat otak sering tidak waras. Dan aku menikmati hidup karena makna bersusah payah seperti itu. Bersusah payah karena terkadang tidur hanya sempat di atas Bis Kota sambil berdiri pula. Bersusah payah karena untuk menjaga perut tetap kenyang meski sebulan gak ketemu nasi. Gak sempat ya harus berjauh jauh mencari rumah makan padang. Dan gak mikir sampai urusan perut juga. Apalagi mikir seneng seneng ngabisin duit orangtua?"

"Aku menikmati kesibukan itu. Sangat merasa bermakna hidupku ketika puas membuat jurnal meski semalam suntuk tidak memejam mata. Apalagi presentasi tanpa dibantai karena argumen dan tulisanku tidak asal-asalan. Wuih.. itu sangat nikmat rasanya."

"Dan disini, di Jakarta. Aku menemukan kamu dengan ritme hidup sama sepertiku. Aku sangat terkesan karena Jakarta menawarkan dunia penuh hura-hura. Apalagi kamu memiliki karir bagus, pastilah peluang di depan mata untuk menghabiskan waktu dengan senang-senang. Kongkow bersama teman-teman, clubbing mungkin? Tapi kamu memiliki pilihan yang kuat. Disini aku beranikan diri mengakui, aku sudah jatuh cinta. Aku cinta kamu Tia..."

Huft.... Kututup seluruh wajah dengan menangkupkan kedua tangan. Mencoba mengusir bayang wajah Dika dari pikiranku. Ternyata kini aku sangat terkenang saat malam itu. Lalu sekarang aku menangisi kenangan itu. Sendiri. Di ruang tunggu penumpang sebuah maskapai.

Mengapa sih prosedur sebelum terbang harus menunggu satu jam? Kenapa tidak 10menit saja? Apa pesawat yang mau ke Sepinggan masih dibersihkan? Atau mengisi bahan bakar? Lalu aku menghabiskan menit demi menit dengan kenangan yang tanpa permisi penuh diingatanku.

Pertemuan pertama saat takziyah. Pertemuan kedua dia datang ke kantorku,atas nama rasa bersalah karena entah dari siapa dia tahu pertengkaranku dengan Ibu. Lalu dia datang sengaja untuk minta maaf. Aku memang sempat menilai negatif kepada Dika. Aku cuma menilai sekilas, anak tunggal yang pastinya manja, anak mami yang nurut saja dijodohkan. Heloow... cowok lulusan luar negeri ya, masih lajang dan istri saja mau gitu aja dicarikan oleh orangtuanya. Dan cowok macam apakah Dika?

Dari kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya. Dia sepertinya laki laki yang hangat. Tak banyak bercerita memang, tapi aku ingat sikapku waktu itu sungguh dingin dan tak ramah sama dia. Tapi entah kenapa aku terkesima dengan sikap sopannya, dia yang lama tinggal di Amerika tapi dia sangat Indonesia.

Permintaannya pada pertemuan kedua itu adalah dia mengajakku berteman. Heh, terdengar lucu ya. Tapi akhirnya aku iyakan saja karena alasannya logis. Dia banyak kehilangan teman setelah enam tahun meninggalkan Indonesia. Jadi dia sedang mencari teman teman baru. Begitu katanya. Ah. Andai aku tahu. Itu hanya akal akalan dia aja. Dia sengaja membuka pintu pertemanan karena pada akhirnya yang dia lakukan setelahnya adalah datang ke rumahku. Ada aku atau tidak, dia tetap sering datang. Dia teman main catur bagi Bapak meski selalu kalah. Dia teman bapak dalam diskusi seru soal bola dan peta kompetisi terupdate.

Lalu biasanya, ngobrol seru. Aku Bapak dan Dika. Begitu terus selama dua bulan saja. Aku enjoy menikmati pertemanan model begini. Dan tak memikirkan apapun setelahnya. Makanya setelah peristiwa melamar versi Dika itu aku justru tertawa. Tak mengira sama sekali. Dan akupun tak ada beban sama sekali menceritakan semuanya pada Bapak. Lalu jawaban Bapak sungguh tak kukira.

"Iya. Bapak sudah tahu, sebelum ngomong sama kamu, Dika kunsultasi dulu sama Bapak."

Hah?!

Benar benar Aneh. Dika sudah meminta restu Bapak sebelum mengatakannya padaku? Aku pun mulai mengagumi Dika dari hal hal kecil seperti ini. Pendekatannya pada Bapak benar benar berhasil, sungguh aku tidak mengira sama sekali.

Lalu Bapak bercerita, dalam setiap pertemuan demi pertemuan dengan Dika, obrolan tentang aku paling sering di bahas. Masa kecilku yang rewel selalu tak mau diam, Ibu yang juga seorang penjahit, sering memarahiku karena kain kainnya sering aku gunting. Ikut dibonceng sepeda kemanapun Ibu pergi. Dan diajak Bapak ke pasar sayur adalah kesukaanku.

Meski bandelku seperti anak laki laki. Tapi diantara kami berempat maka akulah yang selalu Bapak bangga banggakan. Prestasiku, kesungguhan belajarku, selalu berhasil mendapat nilai terbaik, aku tahu Bapak sangat bangga padaku. Aku sangat dekat pada Bapak. Dan ketika Dika berhasil meraih hati Bapak, maka hatikupun luluh pada keinginan Bapak.

Aku dengarkan semua penilaian Bapak tentang Dika. Aku tangkap binar semangat saat Bapak bercerita tentang Dika. Masa tua yang kian duka setelah di tinggal Ibu. Sudah pensiun, sudah saatnya menikmati hari tua. Keempat anaknya sudah menopang seluruh kebutuhan hidupnya.

Dan aku mengulangi lagi melukis duka dihatinya kini. Setelah semua berantakan, ya. Rencana pernikahan yang kian berantakan. Aku ke Balikpapan dan DIka akan ke Boston. Sempurna sudah semuanya!

SERIBU RASAWhere stories live. Discover now