BAB 1

425 28 35
                                    

Suara ketukan pintu itu menghentikan jari-jari yang sedang menari di atas keyboard. Sang empu menoleh seraya menyerukan kata, "Masuk!"

Pintu pun terbuka, menampilkan seorang wanita yang masih terlihat cantik diusianya yang hampir menginjak kepala empat itu. Tubuhnya yang cukup berisi terbalut gaun tidur berwarna krem. Bibirnya yang tipis terulas senyum untuk sang gadis pemilik kamar. Gadis yang masih duduk di meja belajar itu membalas senyum tersebut. Pandangan wanita itu menyusuri setiap sudut kamar, sedangkan kakinya melangkah masuk. Mendekat, kemudian ia duduk di tepi ranjang sebelah kanan, yang bersebelah dengan meja belajar.

"Lagi sibuk, Sha?" Pertanyaan itu terlontar ketika melihat laptop sang gadis terbuka dan menampilkan salah satu laman pengolah kata.

Gadis yang dipanggil 'Sha' itu memperbaiki duduknya. Menghadap wanita yang mempunyai mata sipit seperti dirinya. Senyumnya terulas. "Nggak, kok, Tante."

Sang tante mengangguk. Seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi ada keraguan dari tatapannya. Sha atau yang lebih dikenal dengan nama Risha itu melihatnya kemudian berujar, "Ada apa, Tan?"

"Nggak, kok. Tante cuma mau nanya aja, tahun ini umurmu berapa, sih?"

Gadis yang mempunyai rambut coklat gelap itu mengernyit. Merasa bingung dengan pertanyaan sang Tante. "Dua puluh. Emangnya kenapa, Tan?"

Ia hanya mengangguk-angguk. "Udah mau dua puluh tahun, udah siap nikah belum?"

Risha melongo. Merasa kalau ada yang salah dengan tantenya. Padahal sang Tante tahu kalau ia masih kuliah. Belum terpikir olehnya untuk menikah diusia semuda ini. "Sha belum kepikiran buat nikah, Tan. Sha masih pengen kuliah, terus kerja dulu, baru mikirin menikah."

"Bagaimana kalau ada laki-laki yang baik agamanya dan sudah mampu lahir batin melamarmu?"

Pertanyaan wanita keturunan Tionghoa itu membuat Risha tidak bisa berkata-kata. Tatapan tak percaya mengarah ke arah sang tante. Tidak menyangka kalau tantenya bisa berpikiran sejauh itu. Setelah bisa mengontrol ekspresinya dia bertanya, "Emang ada yang ngelamar Sha, Tan?"

Hanya untuk memastikan, ia membatin. Meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak terbawa perasaan.

"Kalo ada, Sha mau?"

"Jadi beneran?" Mata gadis itu melotot saking kagetnya mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan dari tantenya itu.

"Belum beneran, sih," ungkap Tante, "Baru menyampaikan niatnya sama masmu kalo dia tertarik sama kamu dan ingin mengkhitbahmu."

Ini sungguh berita yang tak terduga bagi Risha. Diumur yang belum genap dua puluh tahun, ia sudah ada yang melamar. Tidak tahu harus berkata apa, membuat matanya bergerak tak fokus.

"Tante tahu kamu masih kuliah dan pengen kerja." Tante menepuk pundak keponakannya pelan. Tersenyum menenangakan. "Tapi, yang ini bisa dibilang termasuk laki-laki baik. Sebaiknya jangan langsung ditolak, lakukan proses ta'aruf saja dulu. Di situ, kan, Sha bisa menyatakaan keinginan Sha buat lanjut kuliah dan kerja."

"Tante tau orangnya?"

Sang tante mengangguk. Senyumnya masih terukir. "Temannya masmu. Pernah main juga ke sini," jelas Tante, "Mungkin tertarik sama kamu pas liat fotomu yang tante pajang di ruang keluarga kali."

Gadis itu shock mendengar dugaan sang tante hingga berseru, "Cuma karena itu?"

Tante hanya mengendikkan bahu. Tidak tahu pasti. "Masmu baru bilang gitu aja."

Risha tidak percaya ini. Sang Tante disuruh menyampaikan padanya, tapi tidak diberitahu informasi keseluruhannya.

"Namanya Tante tau?" Ia masih berusaha mengorek informasi dari tantenya.

"Tante cuma disuruh bilang gitu sama masmu," cengirnya, "Kamu disuruh nanya sendiri."

Risha menghela napas. Menyerah mencari informasi dari tantenya karena akhirnya dia harus menanyakan hal ini pada sepupunya yang terbilang usilnya tidak tahu situasi itu.

********

"Woi, bengong aja."

Tepukan keras di pundaknya itu membuyarkan ingatan yang sedang berulang di kepala gadis berkerudung biru itu. Ia medengus, menatap jengkel sang empu. "Bisa nggak, sih, nggak ngagetin?"

"Nggak bisa." Gadis perawakan mungil itu menyengir. Masih berdiri di samping meja yang diduduki gadis berkerudung itu.

"Lu, tuh, ya--" ucapannya terpotong bersamaan dengan tangan gadis yang berdiri itu mengangkat.

"Gue persen dulu, ya. Abis itu lu boleh ngoceh."

Tidak perlu menunggu jawaban, gadis itu sudah berlalu menuju salah satu stan minuman di kantin fakultas pendidikan itu.

Risha, gadis yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas. Menahan sabar atas kelakukan sang sahabat yang agak absurd itu.

"Nah, kan." Jari telunjuknya mengangkat dan terarah ke Risha yang tengah melamun.

Ia baru saja kembali dari memesan miuman dan langsung menempati kursi di seberang sahabatnya. Bahkan tangannya sudah menaruh gelas berisi jus melon di atas meja. Tapi, orang di seberangnya masih belum menyadari ke hadirannya.

Seruan itu membuyarkan lamunan Risha lagi. Tatapan kesal tak terelakan mengarah ke gadis berkulit sawo matang itu.

"Lu ada masalah? Dari tadi bengong mulu. Nih, gue bilangin, ya, Sha, ayam tetangga gue kemarin bengong malah mati," cerocosnya tanpa menghiraukan kekesalan orang di hadapannya.

"Lu ada pikiran buat nikah muda, La?" tanya Risha to the point. Pandangannya tepat ke manik mata gadis pemilik mata sekelam malam itu. Menuntut jawaban.

"Adalah," jawab gadis yang dipanggil 'La' itu seraya mengumbar seringaian, "Pas umur gue dua empat atau dua limaan."

Risha mendesis. Matanya melotot. "Bukan itu maksud gue." Tisu di atas meja disambar, lalu diremas dan dilemparkan ke arah sang sahabat. Melampiaskan kekesalannya. "Maksud gue nikah sambil kuliah, Aqila sayang."

Gadis bernama Aqila itu terkekeh. "Abisnya lu nanya nggak jelas, sih. Kan, sebelum umur tiga puluh masih muda juga kali."

Risha berdecak. Tangan kanannya memainkan sedotan yang ada di gelas. "Oke, gue perjelas, nih. Lu mau ga ka--awww ...."

Jeritan itu membatalkan kata yang mau terlontar dari mulut gadis berbibir tipis itu. Pipinya tiba-tiba saja dicubit seseorang. Reflek, ia memukul-mukul tangan itu. Mencoba melepaskan jari-jari itu dari pipi tembemnya. Tidak berhasil, ia mendongak mencari tahu pemilik tangan kurang ajar itu. Matanya sudah membeliak, sedangkan mulutnya siap menyemburkan laharnya.

"Hai, sholihah." Sapaan dengan cengiran khas yang memperlihatkan gigi-giginya itulah yang menyambutnya.

Perlahan, ia menghela napas. Di sampingnya, kini berdiri sepupunya yang usilnya tidak akan pernah tahu situasi. Hanya dehaman yang ia berikan sebagai balasan sapaan itu. Tanpa sengaja ia melirik ke sebelah sepupunya dan matanya langsung membelalak. Tidak percaya dengan penglihatannya.

Kok bisa? Pertanyaan itu yang sedang berputar-putar di kepalanya.

ARTHARUF (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang