BAB 2

159 18 14
                                    

Risha masih menatap tak bersahabat pada sosok yang kini duduk di sebelah sepupunya. Matanya kemudian beralih menatap sepupunya. Tubuhnya agak dicondongkan ke depan. "Mas Rafif, kok, bisa kenal sama dia?"

Lirikan mata gadis yang berstatus sepupu sepersusuan itu memunculkan seringaian cowok berkulit kuning langsat itu. "Kenapa sayang? Takut masmu ini marah, ya, kamu terpesona sama sahabatnya masmu?"

"Maaaaas!" rengeknya. Matanya memandang sekeliling, sedang posisi duduknya kembali tegak. Dan, benar saja sebagian yang mendengar percakapan mereka langsung menoleh. Memperhatikan mereka, mencoba memasang kuping untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam.

Selama ini Risha berusaha fokus hanya untuk kuliah. Tidak seperti mahasiswi lain di awal perkuliahan yang lebih banyak mencari popularitas. Baginya, semua itu tidak berarti jika pada akhirnya dia akan tersakiti juga. Tapi, semua itu tenggelam di samudra terdalam ketika sepupunya mengusik masa perkuliahannya. Ia yang mempunyai kepopularan di atas rata-rata sefakultas teknik, atau bisa dikatakan sekampus itu membuat skandal yang seakan-akan dirinya dan Risha mempunyai sebuah hubungan. Hal itu jelas saja menimbulkan gosip-gosip yang berimbas ketenaran bagi keduanya.

"Mas ngapain ke sini?" Risha memberengut. Seingatnya dia kuliah hanya sampai siang dan tidak meminta Rafif menjemputnya.

"Memangnya mas nggak boleh ketemu sama orang terkasih?" cengirnya, "Mas, kan, kangen." Kini, senyumnya berubah cemberut.

Risha lagi-lagi menatap sekelilingnya. Kali ini para mahasiswi menatapnya tajam. Ia menghela napas. Lelah akan kelakuan Rafif. "Mas nggak bisa berenti apa? Nanti kalo mas udah lulus aku yang kena bully."

Rafif mengernyit. "Apa hubungannya?"

"Jelas ada," kekinya, "kalo Mas lulus berarti bagi mereka aku nggak ada yang lindungin. Mas tau itu artinya apa?"

Cowok beralis tebal itu menggeleng.

"Itu artinya mereka bisa puas-puasin bully aku," ungkap Risha dengan muka tertekuk.

"Astaghfirulloh." Seketika mukanya diusap kasar. "Istighfar Sha! Nggak boleh su'udzon sama orang." Kemydian mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat. "Kalo kamu nerima ini, mas jamin kamu nggak bakal pernah dibully."

Mata melirik amplop yang sekarang tergeletak di atas meta, lalu Risha menyipit menatap Rafif. Mencurigai isi  amplop itu. "Apa itu?" Tunjuknya pada benda berbentuk segiempat itu. "Uang bulanan?"

"Maunya, sih, gitu. Tapi, kan kita diharamkan menikah." Wajahnya dibuat senelangsa mungkin. Sepersekian detik kemudian, wajah dengan dagu terbelah itu kembali normal. "Mama udah bilang, kan?" Ia mendorong amplop itu lebih dekat ke Risha. "Ini proposalnya."

Dengan gesit gadis itu menyambar amplop itu, tapi sebuah tangan kokoh menghalanginya. Ia mengangkat kepala dan menemukan sepupunya sedang menyengir.

"Bukanya entar di rumah." Kemudian ia mengambil dan memasukan kembali amplop itu ke dalam ranselnya. "Yuk!" Ajaknya seraya berdiri.

Ia menoleh ke samping kiri dan menepuk pelan bahu temannya yang dari tadi hanya diam. "Ane balik dulu, ya, Gan."

Temannya itu hanya mengangguk. Matanya melirik ke arah Risha yang dibalas dengan lengosan.

Rafif kemudian beralih ke Aqila dan mengangkat sebelah tangannya. "Qil, gue bawa pulang si Risha, ya?" ijinnya dengan senyuman terkembang, "Lu take care, ya! Jangan pulang kemaleman."

Dia mendesis karena seketika rasa sakit menjalar di punggungnya. Ketika menoleh, Risha sudah berdiri di sampingnya dengan muka dan tatapan garang.

"Nggak usah tepe, deh, sama sohib gue," ingatnya, "Kalo Mas bikin dia baper, aku doain jodohnya jauh mulu, loh."

Rafif terkekeh, lalu mengusak kasar kerudung gadis itu. "Yuk, pulang!" Tangannya beralih menggandeng tangan Risha.

ARTHARUF (Pending)Where stories live. Discover now