BAB 4

108 16 13
                                    

"Mencari seseorang?"

Risha terperanjat. Suara bass itu seketika menghentikan langkahnya yang baru memasuki fakultas teknik ini. Terdengar dari belakang tubuhnya.

Ya, ia memilih untuk menolak tawaran ojek gratis dari sahabatnya. Setelah itu, ia bergegas menyambangi fakultas yang mahasiswanya mayoritas pria itu. Ia takut kalau Rafif malah mencari-cari di fakultasnya. Terlebih ponsel Rafif yang tidak aktif membuat ia kesulitan menghubunginya.

Gadis itu menghembuskan nafas pelan. Lega. Setidaknya ada yang menanyakan tujuan ia ke fakultas ini daripada hanya memandanginya aneh.

Hari memang hampir gelap, tapi fakultas ini seperti tidak pernah tidur. Selalu ramai. Ini dikarenakan mahasiswa teknik yang mayoritas laki-laki itu lebih memilih nongkrong di kampus dulu daripada pulang ke rumah lebih awal. Terlebih, fakultas yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kampusnya itu memiliki bangku yang berjajar di antara pepohonan yang tertanam di tepi jalan beberapa meter dari gerbang utama fakultas.

"Oh, syukurlah."--Gadis berhidung pesek itu memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya kembali--"Iya, saya mencari seseorang. Apa kau meng--." Ucapannya langsung terhenti ketika ia sudah membalikan badan. Iris mata coklat gelap itu membelalak. Pegangan pada tali ransel yang tersampir di punggung mengerat. Ia tidak memperkirakan bahwa yang menyapanya adalah dia. Tepatnya, ia lupa kalau dia juga satu fakultas dengan sepupunya, bahkan satu jurusan. Bagaimana dia tahu? Tentu saja saudara sepersusuannyalah yang bercerita.

Laki-laki di depannya hanya mengangkat sebelah alisnya. Melihat reaksi gadis di hadapannya, sekaligus menunggu jawabannya. Sedangkan dua laki-laki yang berdiri di belakangnya meneliti Risha.

"Lu bukan dari fakultas ini kan?" Lelaki dengan rambut agak gondrong itu memicingkan mata.

Risha mengangguk. Kepalanya menunduk.

"Nyari Rafif?"

Pertanyaan itu sontak membuat gadis itu mendongak. Hanya sepersekian detik, kemudian kembali menunduk. Anggukan kecil menjadi jawabannya.

Sedangkan, kedua temannya tampak kaget. Mereka mengernyit, lalu saling pandang. Dan, berakhir memandang gadis berjilbab merah muda itu penuh tanya.

"Sudah dihubungi?"

Sekali lagi Risha mengangguk. Menjelaskan perkara ponselnya yang tertinggal, meminjam ponsel teman yang ternyata tidak memiliki pulsa, sampai ponsel Rafif yang tidak dapat dihubungi.

Laki-laki itu mengangguk, lalu meminta kedua temannya untuk pergi duluan. Setelah itu, ia mengajak Risha untuk ke pinggir karena mereka ternyata masih di tengah jalan. Untuk saja ini parkiran memiliki jalan sendiri, walau terdapat di belakang gedung hingga mereka--Risha dan Lelaki itu--tidak mengganggu orang yang berlalu lalang.

Dia mencoba menghubungi Rafif, tapi suara operator menandakan bahwa ponsel lelaki keturunan Tionghoa itu tidak aktif. Ia menghela napas. Bukannya dia tidak tahu bahwa gadis yang bersamanya itu tidak nyaman di sini. Terlihat dari matanya yang bergerak-gerak tidak fokus. Dia hanya mencoba mengabaikannya.

Dia melirik arlojinya. Hampir pukul enam. "Setahu saya, Rafif ada bimbingan jam lima. Tapi, kan, bukan hanya dia yang bimbingan. Jadi, harus nunggu giliran."--Dia melirik Risha, lalu mengangguk sekali--"Biar saya tunjukkan ruangan dosen. Mungkin saja dia masih di sana."

ARTHARUF (Pending)Where stories live. Discover now