07 | Bule Menor

26.4K 3.8K 306
                                    

Bab 07
Bule Menor
🍃🍃🍃

   

     Suara tangis Meda yang melengking, menyambut kedatangan Rinai pagi itu. Hari ini tepat satu minggu ia bekerja sebagai pengasuh Meda, dan sudah mulai terbiasa dengan rengekan si bocah vampir bila sedang bersama ayahnya. Surya Wiratmadja.

Seperti halnya pagi ini, ruang tengah keluarga Wiratmadja dihebohkan dengan raungan Andromeda yang tidak ingin ditinggal sang ayah. Wajah imut bocah itu basah, mata dan hidungnya pun memerah. Kalau begini, Rinai seolah benar-benar menatap seorang bayi, bukan setan cilik yang biasa mengajaknya uji nyali.

“Cup, cup, cup .... Udah dong, Sayang, jangan nangis terus.” Pak Surya menggendong Meda sambil mondar-mandir seperti setrikaan, mencoba menenangkan Meda yang masih sesegukan. Ingusnya bahkan sudah membuat sebagian atas kemeja mahal Surya menjadi lengket dan menjijikan, tapi laki-laki itu tampak tak peduli.

“Rin, tolong ambilin boneka beruang Meda di keranjang mainan, ya!” serunya, bahkan tanpa menoleh pada Rinai karena sedang kerepotan mengelap wajah basah putrinya dengan menggunakan tangan.

“Oke, Om.” Rinai menurut. Melangkah gesit menuju bawah tangga tempat keranjang besar berisi mainan Meda diletakkan.  Membongkar-bongkar isinya, dan setelah menemukan beruang cokelat yang sebelah matanya sudah raib entah ke mana, ia kembali bergegas menghadap Surya demi memberikan boneka malang tersebut padanya.

Saat hendak menerima si Tedi dari tangan Rinai, Surya menatap sangsi. “Eh, kamu salah ambil kayaknya deh, Rin. Yang Om maksud tuh, boneka yang yang dibeliin tiga hari lalu itu.”

“Nggak, Om. Ini emang yang dibeliin kemarin.”

“Oh, Tuhan!” Surya mengerang. “Meda, ini boneka Papa baru beliin, loh. Kok matanya udah tinggal satu sih, Nak?”

“Yah, Om. Ini cuma hilang satu mata. Yang lain parah, Om!” Rinai tak akan heran dengan hilangnya satu mata si Tedy, mengingat kelakuan Meda di luar jangkauan orangtua dan kakak-kakaknya. Nyaris semua mainan bocah itu tak ada yang masih utuh.  Si Tedi masih mending cuma matanya yang hilang sebelah, nasib Barbie dan Keroppi bahkan lebih mengenaskan lagi. Rambut Barbie sudah gundul, lehernya miringmungkin patah tulang. Dan si Katak kepalanya lepas dari badan.

Andai mainan-mainan itu benar-benar hidup seperti di film Toy, sudah pasti Barbie masuk rumah sakit dan butuh penanganan serius, sedang Keroppi harus segera dikuburkan dengan layak. Mainan lain yang tak kalah nahasnya akan berduka. Mereka tinggal menunggu giliran kapan akan menyusul yang lain yang sudah tenang di alam sana.

“Ini anak gadis siapa, sih? Bener-bener!” keluh Surya tak habis pikir. Seingatnya, waktu kecil dia tidak senakal Andromeda. Mesta pun demikian. Mesta justru lebih suka membaca dan bermain puzzle.

“Dia anakku, Mas, kalau kamu nggak mau ngakuin!” celetuk Damai dengan nada sedikit kesal. Surya tak menanggapi, mungkin takut terjadi percekcokan seperti yang sudah-sudah, sementara Meda sedang manja-manjanya.

Selama seminggu bekerja di sini, sedikit banyak Rinai tahu kalau pasangan beda usia dua tahun ini lebih sering ribut. Hal remeh saja bisa mereka perdebatkan seharian. Damai yang bawel dan Surya yang tak suka mengalah merupakan lawan yang seimbang. Namun entah mengapa, cekcok mereka malah terdengar lucu. Angkasa mau pun Semesta lebih suka menjadi penonton daripada menengahi.

“Si Nyonya sensi tuh, Om. Makanya kalau ngomong sama perempuan tuh, hati-hati,” bisik Rinai sambil tertawa cekikikan.

“Ck, dia memang sensian tiap hari.” Surya menerima boneka dari tangan Rinai untuk menghibur Meda. Tapi, si bungsu malah makin meraung dan meronta. Meminta Surya menjauhkan benda cokelat gendut itu darinya.

Jungkir Balik Semesta RinaiWhere stories live. Discover now