12 | Tak Benar-benar Mau - 1

24K 3.4K 274
                                    

12
Tak Benar-benar Mau
🍃🍃🍃

Ruang persegi seluas 5x5 meter itu tampak serba putih. Mulai dari dinding, lantai, bahkan plafon. Belum lagi psikiater paruh baya berparas cina dengan kulit pucat yang selalu menatapnya penuh penilaian di seberang meja, membuat Semesta merasa sangat terintimidasi. Bukan, bukan pada tatapan si dokter, apalagi nuansa ruang praktik yang sudah bagai alam barzah, melainkan pada kenyataan karena ini untuk kali pertama ia harus bercerita tentang rahasia terkelamnya pada orang lain. Orang asing yang bahkan baru ia temui sekarang.

Semesta terbiasa menyimpan semua masalah sendiri. Kalau pun ada yang tahu, orang tersebut pastilah Kenzo. Tetapi kali ini, Mesta tidak punya pilihan lain.

Menelan saliva yang mendadak terasa menggumpal di kerongkongan, Semesta menarik napas panjang. Seiring dengan embusan karbon dioksida yang ia keluarkan dari lubang hidung, pemuda 28 tahun itu mulai berucap pelan.

“Namanya Rain.” Semesta memulai. “Pertama kali kami bertemu sembilan tahun lalu. Saat itu saya masih tujuh belas tahun dan duduk di bangku SMA. Sekolah kami bermasalah, I mean ... teman saya memiliki permasalah dengan teman Rain yang menjadi awal perseteruan kami. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama padanya, saat bertemu di arena balap liar untuk menentukan kelompok siapa yang terkuat. Malam itu dia terlihat berkilau di bawah sinar bulan. Tatapannya penuh ambisi, dia berdiri gagah berani di barisan depan, dan ketika pandangan kami bertemu, jantung saya berdebar kencang. Sangat kencang sampai saya merasa takut sendiri. Takut kalau-kalau sesuatu yang salah telah terjadi.

“Dan yah, ini memang sebuah kesalahan besar. Tidak seharusnya saya jatuh cinta padanya. Dia ... laki-laki. Kenyataan itu membuat saya nyaris gila memikirkannya. Saya bahkan sampai kabur ke Amerika dengan alasan melanjutkan kuliah hanya untuk melupakan Rain. Tahun-tahun berlalu tanpa melihat senyumnya, saya kira semua sudah baik-baik saja. Cinta yang dulu tumbuh untuknya hanya sementara. Tapi ternyata perkiraan saya salah, karena saat saya kembali ke sini, dan saat kami bertemu lagi tanpa sengaja, jantung saa kembali berdetak di luar batas normal, seolah tahu siapa pemiliknya.

Belum lagi sekarang dia bekerja pada ibu saya, dia juga dekat dengan adik saya. Saya kesulitan menghindarinya. Dan makin ke sini, saya merasa benar-benar nyaris mati. Apa yang harus saya lakukan, Dok? Jelas perasaan saya hanya kegilaan untuk diri saya sendiri, kan?” Mesta bertanya retoris dengan nada emosional. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan di atas pangkuan, meremas kain celana jins tebal yang siang ini membungkus apik sepasang kakinya.

Diakui atau tidak, Semesta merasa sedikit lega setelah segala unek-unek dan kegelisahannya setiap malam akhirnya tersampaikan. Benar kata Kenzo, masalah memang harus dibagi dengan orang lain agar tidak merasa sendiri.

“Kenapa kamu ingin melupakan si Rain ini?”

Semesta mengerjap, menatap bingung Dokter Naryo, psikiater paruh baya yang direkomendasikan Kenzo padanya. Pada akhirnya, dia memang mendengarkan saran Kenzo untuk mendatangi ahli yang barangkali bisa membantu ia mencari solusi agar bisa kembali normal.

Kembali normal? Kurcaci bertanduk hitam dalam kepala Semesta mencibir. Tertawa penuh ejekan. Selama 28 tahun hidup, Mesta tidak yakin bahwa dirinya pernah benar-benar normal, mengingat Rain adalah oranglaki-lakipertama yang membuat ia panas dingin tak keruan.

“Karena saya tahu ini salah. Dalam agama dan lingkungan saya, penyimpangan semacam ini tidak dibenarkan,” ujar Mesta mulai kesal. Bagaimana mungkin dokter ini masih bertanya?

“Seandainya hubungan sesama jenis dibenarkan, apa yang akan kamu lakukan?”

“Ap-apa?” Punggung Mesta refleks mundur sampai menyentuh sandaran kursi. Semua kecamuk dalam benaknya mendadak buyar begitu mendapati pertanyaan tak terduga dari Dokter Naryo. “Maksud Dokter apa?”

“Seandainya hubungan sesama jenis dibenarkan, apa kamu masih ingin melupakannya.”

Saliva dalam tenggorokan Mesta bukan lagi menggumpal, melainkan sudah mengkristal, menciptakan rasa sakit di sepanjang leher. Semesta kehilangan kata-kata. Pertanyaan Dokter Naryo sama sekali tak pernah ia duga. “Dokter” Dan dia tidak tahu harus menjawab apa.

“Dalam dunia psikologi, penyimpangan seksual bukan lagi dianggap penyakit, tapi hanya kelainan seksual biasa. Tentu bisa disembuhkan, tapi semua tergantung pada diri sendiri. Kamu tidak bisa serta-merta kembali normal tanpa alasan dan keinginan yang kuat. Karena sesungguhnya, kesembuhan dan keinginan itu berbanding lurus. Makin besar keinginan kamu untuk sembuh, maka peluang kamu juga makin lebar. Percuma kamu datang kepada saya dan melakukan terapi kalau kamu tidak benar-benar mau.

“Jadi, beri saya satu alasan kenapa kamu ingin jadi normal, agar saya bisa mencarikan metode yang tepat untuk kamu.”

“Saya,” Semesta membasahi bibir bawahnya yang mendadak kering, “karena saya tahu ini salah, Dok.” Semesta keras kepala. “Agama dan kehidupan sosial saya tidak membenarkan adanya hubungan sesama jenis. Begitu pun hati saya.” Dan jawaban yang sama kembali terucap dari bibirnya.

Dokter Naryo menghela napas panjang. Satu tangannya mengelus dagu yang bebas jenggot, menatap Mesta penuh penilaian dari kelereng cokelatnya di balik kaca mata silinder bulat itu.

“Oke, sejauh mana hubungan kamu sama pasanganmu itu? Apa kalian pernah melakukan hubungan badan?”

Melakukan hubungan badan dengan Rain? Mesta ingin tertawa dalam hati. Menertawakan nasibnya yang sialan. Sebagai manusia yang tercipta dengan berahi, tentu dia inginsangat inginmelakukan hubungan badan dengan seseorang yang dicintai. Tetapi membayangkan dirinya memasuki lubang anus, sukses membuat Mesta mual setengah mati. “Tidak!” jawabnya cepat, terlalu cepat sampai-sampai membuat Dokter Naryo mengernyit curiga. “Selama ini saya mencintainya dalam diam.”

“Kenapa? Apa dia punya pasangan gay lain? Atau”

“Dia normal, bahkan sudah menikah dan memiliki anak.”

“Cinta bertepuk sebelah tangan,” komentar Dokter Naryo prihatin. “Harusnya ini bisa jadi lebih mudah. Begini, seandainya tidak melihat genre, kamu ingin memiliki pasangan yang seperti apa?”

Punggung Mesta melamas sebelum ia jatuhkan hingga menyentuh sandaran kursi. Ia berkedip pelan sebelum berucap,  “Saya ingin seseorang yang bisa mengimbangi saya. Yang tegas, percaya diri, berpenampilan apa adanya, dan yang pasti punya senyum menawan.” Dalam bayangan Mesta, muncul sosok tengil yang beberapa hari ini menggangu tidurnya.

“Secara fisik?”

“Hmm ... tinggi, tidak terlalu kurus, cantik, dan berambut cepak.” Seiring dengan penjelasannya, mata Semesta terpejam. Lelaki itu mengutuk diri dalam hati.

“Perempuan berambut cepak, ya ....” Dan ini entah hanya perasaannya saja, atau memang Dokter Naryo setengah mengejeknya dengan nada nyinyir itu. “Kalau begitu, cobalah kamu mencari perempuan dengan ciri-ciri seperti yang jamu sebutkan tadi. Barangkali kamu bisa cocok dan merasa nyaman. Yang pasti perlu kamu percaya, berhubungan dengan lawan jenis itu tidak mengerikan. Kunci untuk belajar mencintai itu komunikasi. Semakin sering kamu berkomunikasi dengan seseorang, semakin kamu akan mengenalnya dan makin besar pula kemungkinan ikatan emosional terjadi di antara kalian. Cinta itu kata kerja dan bisa diusahakan kalau memang kamu mau.”

“Saya tidak bisa, Dok.”

“Kenapa?”

“Usaha saya untuk melupakan Rain bukan hanya dengan pergi melanjutkan pendidikan ke luar negeri, tapi juga melamar seseorang sebagai pelarian.”

Dokter Naryo tampak tidak terlalu kaget. Ia menatap Mesta prihatin. “Bagaimana bisa kamu melupakan laki-laki itu, kalau jauh di dalam hati kamu tidak rela melepaskan perasaan untuknya. Jujur saja, Semesta, kamu hanya tidak ingin dipandang rendah oleh masyarakat seandainya mereka tahu kamu mengalami kelainan, kan, bukan benar-benar ingin melupakannya?”

🍃🍃🍃


Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 01 April 2018

Repost, 20 Juli 2019

Jungkir Balik Semesta RinaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang