20 | Edisi Galau Wiratmadja Junior - 1

19.8K 3.1K 227
                                    

20
Edisi Galau Wiratmadja Junior - 1
🍃🍃🍃

"Aaaa ... mana nih, gerbangnya kok tutup? Buka dong, pesawat udah mau mendarat." Damai memainkan sendok di depan mulut Meda yang cemberut. Malam ini bocah itu menolak makan, tapi Damai memaksa. Ia sama sekali tidak tahu-menahu bahwa Meda masih kekenyangan lantaran seharian ini sudah makan empat kali. Nasi putih lembek dan telur dadar buatan Rinai memenuhi perut kecilnya sampai kembung.

Merasa tak cukup dengan hanya menipiskan bibir rapat-rapat, Meda mengangkat kedua tangan dan dibentuk menyilang di depan mulut. Menghalau pesawat sendok berisi bubur bayi yang memaksa masuk. "Bandalanya agi nutup, Nda!" pekiknya tertahan. Damai sampai kewalahan. Ia bahkan belum makan sama sekali demi menyuapi Meda yang sedang bebal ini.

"Ayo dong, Sayang. Satu suap aja, ya?"

Meda tetap kukuh menggeleng keras kepala.

"Meda, jangan sampai buat Bunda marah, ya!" ancamnya, tapi si bocah malah memengos. Sama sekali tak takut dengan gertak sambal sang bunda. Tak sabar, Damai berniat membuka mulut putrinya paksa. Namun niat itu tak sampai terealisasikan gara-gara mendengar pertanyaan Surya. Berhasil menyita perhatian semua pasang telinga di ruang makankecuali Meda yang tetap sibuk menutup mulut.

"Bener kamu mau nikah bulan depan?" Tanpa harus bertanya, Damai tahu kepada siapa pertanyaan itu dilayangkan.

Damai melirik putra tirinya dan mendapati suapan yang hendak masuk ke bibir Semesta tertahan di udara. Pun Angkasa yang mendadak terbatuk keras, barangkali tersedak. Buru-buru Damai meletakkan bubur Meda ke atas meja dan menyodorkan segeras air pada Angkasa.

"Makanya kalau makan hati-hati," tegurnya yang hanya dibalas gumaman oleh sang lawan bicara.

"Tanya Bunda aja," jawab Semesta pelan.

Surya mengalihkan arah pandang pada istrinya yang duduk di sisi meja makan, bersebelahan dengan anak kedua mereka. Sedang laki-laki paruh baya itu menempati kepala meja. "Bener!" sahut Damai, berganti menatap suaminya penuh binar. Ia selalu antusias mengurus pernikahan, terlebih ini pernikahan pertama dalam keluarga kecil mereka. "Seharian ini aja aku udah sibuk bikin daftar undangan sama Mbak Nina."

"Kenapa buru-buru? Bukannya kesepakatan awal kita nunggu Mesta kerja dulu?" tanya Surya lagi begitu selesai menuntaskan sisa air mineral dalam gelasnya. Semesta masih bungkam, berusaha menikmati makan malam kendati perutnya mendadak kenyang mendapat pertanyaan seputar pernikahan.

"Ish, kenapa harus nunggu kerja?" Lagi-lagi Damai yang ambil suara. "Rezeki kan udah ada yang ngatur, apalagi Mesta udah punya penghasilan tiap bulan. Umur juga udah cukup. Kasian Eta kalau harus nunggu Mesta kerja dulu. Perempuan kan punya jam produktif."

Kalau sudah Damai yang angkat bicara, Surya bisa apa? Padahal yang ditanya Semesta, tapi yang paling antusias malah istrinya. Surya merasa ada yang aneh sebenarnya di sini. Putranya mau menikah, tapi tak ada ekspresi senang sama sekali yang tampak di wajahnya. Surya tahu Semesta pendiam, sangat. Kendati demikian, ia cukup kenal gesture sulung Ratih yang hampir seratus persen menuruni sifat ibunya. Semesta itu diam-diam menghanyutkan. Sebagai seorang ayah yang pernah menjadi orangtua tunggal, ia jelas tahu. Alih-alih bahagia, Semesta cenderung tertekan. Tidak seperti biasanya.

Menyendok nasi dari piring, Surya kembali berkata sambil lalu, "Urusan ke KUA bagaimana?"

"Kalau masalah itu kita tinggal terima beres aja, Mas. Tadi Mbak Nina udah bicara sama Pak RT, dan beliau mau bantu. Dari hasil obrolanku sama Mbak Nina sih, kami sepakat adain akad di halaman belakang rumah Mas Rafdi dan resepsinya di gedung hotel suami kakanya Mbak Nina. Cuma nyari catering yang bisa disewa bulan depan ini yang rada susah, sama WO. Masalah baju sih, Eta mau pakai kebaya sama gaun pernikahan mamanya katanya." Damai menjelaskan panjang lebar, sampai lupa kalau Meda harus disuapi dan setengah dipaksa agar mau makan.

Di lain sisi Semesta makin tak selera. Baru tadi pagi Rafdi memberi restu, dan malam ini ibu dan calon mertuanya sudah bisa menentukan banyak hal. Merasa tak lagi mampu mengunyah dengan gigi-giginya yang mendadak ngilu, ia menjauhkan piringnya yang masih menyisakan beberapa sendok nasi. Hendak pergi dan pamit ke kamar mandi demi menghindari percakapan tentang pernikahannya sendiri. Tapi belum sempat ia mendorong kursi ke belakang, bunyi derit antara gesekan kaki kursi lain dan lantai lebih dulu terdengar. Mendongak, Semesta mendapati Angkasa yang sudah berdiri di sebarang meja.

"Aang udah selesai. Mau ke kamar duluan." Begitu saja, kemudian calon penerus Wiratmadja Corp itu berlalu pergi tanpa menunggu respon dari siapa pun. Menaiki tangga menuju lantai dua dengan langkah cepat.

"Mesta juga sudah kenyang," Semesta ikut berdiri, mengabaikan tatapan penuh tanya dari kedua orangtuanya. Menyusul Angkasa ke lantai dua dengan tujuan berbeda. Ia butuh pengalihan malam ini agar rasa tak nyaman yang mendera sejak pagi bisa segera pergi.

Di meja makan Surya mendesah panjang. Dia semakin yakin bahwa ada yang tidak beres di sini, tapi apa?

"Kamu menemukan sesuatu yang ganjil nggak sih, sama anak-anak?" tanyanya pada Damai yang kembali berusaha menyuapi Meda di kursi bayinya.

"Apa?"

"Kamu nggak ngerasa mereka terlibat ... cinta segi tiga?"

Kali ini Damai benar-benar menyerah. Meda tetap kukuh tidak mau makan kendati ia paksa-paksa. Si bungsu ini benar-benar menuruni sifat keras kepalanya dengan begitu sempurna. Menatap Surya yang menunggu jawaban, pancaran mata Damai berubah sendu. Dari ekor mata, ia melirik ujung tangga tempat kedua putranya menghilang menuju kamar masing-masing.

"Aku ... juga merasa," ujarnya lirih, nyaris seperti bisikan. Ia jelas tahu putranya yang lain menaruh hati pada Mentari bahkan sejak malam pertunangan gadis itu dengan Semesta. Melihat pancaran berbeda dari telaga bening Angkasa setiap kali menatap sulung Zachwili saja, Damai paham. Tapi, dia bisa apa? Angkasa bisa apa? Mentari sudah menentukan pilihan dan Semesta terlanjur mengikat hubungan. Damai jelas senang mendengar kabar pernikahan keduanya, meski jauh di lubuk hati ia juga merasa iba. Namun sekali lagi, Damai tidak bisa berbuat apa-apa.

"Aku hanya berharap semoga kisah rumit kita di masa lalu nggak lagi terulang."

"Kayaknya nggak. Semesta dan Angkasa punya sikap yang jauh lebih dewasa dari kamu waktu itu. Mereka udah bisa menentukan pilihan dengan lebih bijak." Surya tidak tahu Damai sedang menyindir atau memang hanya sekadar menyatakan pendapat. Tapi lebih dari itu, perkataannya membuat Surya sedikit lega.

Semoga. Semoga benar semua akan baik-baik saja.

🍃🍃🍃

Dikit aja duku ya. Bagian duanya masih mau dimatengin dulu dalam oven😂
Banyaknya typo sama iengukangan kata harap dimaklumi. Akhir-akhir ini sama.mals baca ulang dan ngedit. Jadi apa adanya aja. Revisi nanti kalo udah tamat😂

InsyaAllah bagian duanya besok deh.

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 25 Mei 2018

Repost, 24 Des 2019

Jungkir Balik Semesta RinaiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora