20 | Lanjutan

21.1K 3.4K 569
                                    

“Ini apa, Rin?!”

Baru jam delapan malam. Rinai sedang malas-malasan di kursi panjang busa yang sudah gepeng dengan kripik singkong di atas pangkuan. Menonton sinetron Dua Lintah yang sebenarnya sama sekali tak menarik minat. Hanya saja tak ada acara lain yang lebih baik dari ini. Nasib punya tivi yang masih pakai antena ya, begini. Mau menonton film barat yang tanpa sensor harus di youtube, tapi Rinai terlalu sayang kuota internet. Jadi pasrah saja dengan sinetron alay yang sedang marak tayang di stasiun tivi swasta Indonesia.

“Apaan sih, Mak?” Rinai enggan menoleh, menyahut pun dengan tatapan yang masih mengarah pada layar tabung di depan sana serta tangan yang tiada henti bergerak dari dalam toples ke mulut. Terus begitu sampai gusinya terasa ngilu dipakai beraktivitas.

Lilah tak menjawab, hanya derap langkah kasarnya samar-samar Rinai tangkap di antara dialog para tokohkelewatantagonis di layar kaca.

“Nih!” Lilah menunjukkan kain berbentuk segitiga tepat di depan wajah Rinai, praktis menutupi arah pandangnya. Mula-mula Rinai mengernyit bingung, tapi begitu menyadari kain tersebut merupakan celana dalam Semesta yang disedekahkan padanya, ia langsung merebut benda itu dari tangan si Kanjeng Emak.

“Ih, Mak! Pegangnya jangan kasar gitu, ini benda mahal.” Rinai menegakkan duduknya. Membentang celana dalam itu di atas meja sambil dielus-elus sayang untuk menghilangkan sedikit kerutannya. Sekonyong-konyong Lilah berkacak pinggang. Menatap Rinai curiga.

“Kancut siapa itu, Rin? Jangan bilang kalo lu piara laki di belakang Emak, ye!”

Memutar bola mata jengah, Rinai menyahut, “Piara laki? Tuyul noh dipelihara, lumayan bisa bikin kaya.” Tangannya masih belum berhenti mengelus kain lembut yang Lilah sebut kancut. Dalam hati Rinai tidak terima salah satu koleksi kesayangannya disebut begitu. Celana dalam merk Calvin Klein layak mendapat sebutan yang lebih baik. Segitiga unyu misalnya.

“Eh, jangan salah. Piara anak Pak Surya sama bini keduanya bisa buat lu lebih kaya timbang piara tuyul.”

“Ish, Mak. Udah dibilang dia mau kawin. Ya kali, Rin jadi pelakor. Ogah!”

Satu tangan Lilah turun dari pinggang. ia mendudukkan diri di kursi kayu yang menempel pada dinding. Tatapannya masih tajam mengarah pada putri semata wayangnya yang cukup tampan. “Jodoh nggak ada yang tahu. Nikah aja ada yang cerai apalagi belum. Masih bisa putus, tuh!” ujar Lilah tak acuh. “Tapi bener kan, lu kagak ada sembunyiin laki-laki dari Emak?”

Rinai melipat celana dalamnya dengan rapi dan hati-hati. “Ya, ngapain Rin bohong sama Emak?” Begitu selesai dilipat, Rinai membiarkan benda hitam itu masih di atas meja, sedang sang empunya kembali bersandar santai pada punggung kursi dan meraih toples plastik yang tadi ia letakkan sembarangan ke lantai demi merebut si Calvin Klein dari tangan Lilah.

“Terus itu celana punya siapa?”

“Ya celana Rinai lah.”

“Lah, itu kan celana laki, Rin.”

“Terus kenapa?”

“Lu pake?”

“Yaiyalah, Mak. Celana dalem mahal sayang kalo cuma dijadiin penghuni lemari.”

“Ya Allah, dosa apa gue punya anak macem lu?” Lilah mengelus dada dramatis. Tak kuasa membayangkan Rinai memakai kancut laki-laki dengan jendulan kosong di tengah selangkangannya. Di tempatnya, Rinai hanya melirik bosan. Ia mengambil remot di atas meja, sengaja mengeraskan volume tivi demi menghindari ceramah Lilah yang bisa jadi akan segera dimulai sebentar lagi. Tema, perempuan dan kodratnya. Demi Tuhan seharian telinganya sudah dibuat sakit mendengar suara cempreng Meda yang tak henti bernyanyi. Malam ini jangan lagi ditambah dengan suara Lilah yang sama buruknya. Yang ada besok Rinai harus segera dibawa ke THT lantaran gendangnya pecah dan keluar darah.

Jungkir Balik Semesta RinaiWhere stories live. Discover now