Izinkan Ninda

14 2 0
                                    


By : indahverlanezernis

“Ma, Pa, Ninda mau kerja di Jakarta.”
Satu kalimat itu sukses membuat kedua orangtuaku terkejut. Pasalnya, aku sudah  empat tahun bekerja di kota kelahiranku ini dan belum pernah sekalipun berkeinginan untuk kerja di luar kota, apalagi di luar pulau.

“Kenapa tiba-tiba, Nak?” tanya ibuku.

“Ninda bosan di sini, Ma. Pengen cari pengalaman lebih di luar sana,” jawabku jujur.

Aku melirik ayahku. Beliau tidak berucap sepatah-kata pun, hanya diam dengan ekspresi wajah yang sulit kutebak.

“Tapi kamu kan sudah empat tahun kerja di sini. Selama ini kamu tidak pernah mengeluh. Lagipula ini kota kelahiran kamu, sayang.” Ibuku menggeleng-gelengkan kepalanya. Raut wajahnya menyatakan bahwa beliau tidak setuju denganku.

“Terus kalo kamu ke Jakarta, kamu mau tinggal di mana? Makan kamu gimana? Nanti gak ada yang mengurusi kamu, Nak.”

Ah, aku mendadak sedih mendengar ucapan ibuku. Memang benar apa yang dikatakan beliau, tapi justru dengan merantau aku mau belajar hidup mandiri. Aku merasa selama ini aku terlalu bergantung dan bermanja-manja dengan kedua orangtuaku karena aku anak tunggal.

“Mama jangan khawatir, Ninda kan udah gede, udah bisa jaga diri sendiri. Terus nanti Nind...”

“Gak boleh! Pokoknya Ninda gak boleh kerja di Jakarta!” tolak ibuku dengan tegas. Bahkan aku belum menyelesaikan kalimatku.

“Ma, dengerin Ninda dulu,” pintaku dengan memelas.

“Jangan, Ninda. Di luar itu berat, nanti kamu gak sanggup,” suara bariton ayahku ikut menyuarakan penolakan.

“Tapi, Pa...”

“Dengarkan kata papa dan mama!”
Aku menghela napas frustasi. Dari awal aku tahu ini sulit, tapi aku akan berusaha.

“Ma, Pa. Ini murni niat Ninda. Ninda ingin belajar mandiri di kota orang, ingin menambah pengalaman dan teman baru. Ninda tahu kok kalo hidup dan kerja di Jakarta memang sulit. Tapi Ninda akan berusaha semampu yang Ninda bisa. Dan mumpung ada asramanya, Ma, Pa, jadi Ninda gak perlu bayar uang kost lagi.”

Ayahku memijit-mijit pelipisnya. Sedangkan ibuku hampir menangis mendengar penjelasanku. Aku tahu mereka berdua sangat sulit untuk melepaskanku pergi merantau ke kota orang. Tapi ini adalah pilihanku, dan aku tak akan mengecewakan kedua orangtua yang sangat kusayangi ini.
Akhirnya setelah hening beberapa saat, ibuku mulai membuka suara.

“Kalau memang ini keinginan kamu, mama hanya bisa mendoakan agar kamu sukses di kota orang nanti, Nak. Dan kalau kamu enggak betah, jangan dipaksakan ya. Langsung pulang saja ke sini.”

Sebelum sempat berucap lagi, tahu-tahu aku sudah berada dalam pelukan hangat ibuku. Air mata bergulir membasahi kedua pipiku. Tiba-tiba saja ada rasa tak rela untuk berpisah dengan kedua orangtua yang telah bersamaku sejak aku lahir ini.

“Ma... Pa...” aku berusaha mengeluarkan kata-kata lagi setelah tangisku reda. “Jangan khawatir, Ninda akan menjaga diri dan kesehatan sebaik mungkin. Terima kasih atas izinnya, Ma, Pa.”

Aku tak bermaksud memaksakan kehendakku pada mereka. Yang aku inginkan hanyalah mereka mau mengerti dan menerima keputusan yang kubuat ini.

Event PerjuanganWhere stories live. Discover now