Aku Psikiater dan Aku Sakit

14 3 0
                                    

By : NiswaHikmah

Pagi selalu menjadi harapan baru bagiku. Ketika akhirnya malam panjang dengan napas sesak itu berlalu. Saat aku bisa membuktikan pada diriku bahwa akhirnya aku mampu sekali lagi melewatinya hidup-hidup. Tatkala akhirnya aku sadar, bahwa aku berhasil mengalahkan sesuatu di dalam diriku: ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan tanpa sebab. Dan, aku bisa mengirim pesan pada teman-temanku di grup dengan hati melega.

Selamat pagi, semua.

Nyatanya, kehidupan berjalan terus. Waktu tidak mengikutiku, tapi akulah yang mengikuti waktu. Dunia tidak memutariku, tapi akulah yang mengikuti poros perputaran dunia. Maka, aku bangkit pagi itu, berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Aku tidak bisa diam saja. Setiap kali waktuku kosong, pikiran-pikiran buruk itulah yang mendominasi diriku. Aku tidak mau tenggelam di dalamnya. Ada begitu banyak tanggung jawab yang harus kupikul, dan aku belum bisa mati karena pikiran-pikiran liar itu.

Tiba di tempat bekerja, aku menyapa beberapa rekan dan membiarkan senyumku terpatri sepanjang berjalan. Beberapa dari mereka memanggil namaku lebih dulu, sama-sama tersenyum. Langkahku terus terajut menaiki lift menuju ruang konselingku berada. Teman-temanku pasti sudah menunggu.

“Hai, Nyonya Sarah. Apa kabarmu?” sapaku melihat seorang wanita berambut sebahu yang sedang bermain game di ponselnya. Ia mendongak dengan paras sedih yang kentara, yang kubalas dengan senyum lebar. Kukedikkan daguku untuk mengisyaratkan bahwa ia bisa masuk. Teman pertamaku hari ini.

Aku mengambil beberapa kertas yang dibutuhkan dan bolpoin. Diagnosisnya kutulis sesuai jadwal terapi seminggu yang lalu.

“Kondisimu bagus minggu lalu. Bagaimana hari ini?”

“A-aku merasa panik lagi. Aku khawatir tidak bisa hidup lebih lama lagi.”

Aku menyempatkan menatap matanya dengan bersahabat, kemudian menggenggam tangannya. “Kau ingat apa yang kukatakan seminggu lalu? Kau akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja. Kau akan hidup dengan baik.”

“Tapi, susah sekali menyugesti diri sendiri seperti itu.”

“Hidupmu hanya sekali. Kita bisa memilih untuk tersenyum atau menangis. Dan, kuharap kau memilih tersenyum.” Aku menuliskan resep obat penenang berdosis rendah untuknya, kemudian mengatakan beberapa hal untuk mencandainya—membuatnya relaks.

Setelah Sarah keluar, aku menghela napas panjang. Debar jantungku yang tidak terkontrol sudah mereda. Rasa sesak yang menggumpal di ujung tenggorokanku terbang hilang. Aku mengembuskan napas sambil tersenyum.

Ya, aku adalah seorang psikiater. Sarah menderita anxiety disorder, dan dia salah satu teman yang memiliki kesamaan penyakit denganku.

Event PerjuanganWhere stories live. Discover now