18. Kak Mila

5.7K 213 0
                                    

"Seandainya waktu dalam genggamanku, akan ku remukkan sekejap. Hanya ingin memberitahu pada kalian, bahwa nyatanya aku merasakan tanpa pernyataan. Sesederhana, 'aku mencitaimu'."

***

"Lara!"

Benturan tadi berhasil membuat keningnya terasa berdenyut dan perih. Kesadarannya tidak hilang. Lara masih bisa melihat jelas siapa yang tengah memegang pinggangnya. Orang itu terlihat panik juga cemas, tapi tidak dengan orang yang ada di belakang mereka.

"Oyo? Aurel?"

"Kening lo berdarah! Kita ke UKS sekarang oke?"

Lara yang tidak bisa berpikiran jernih sekarang dengan lugu memegang keningnya. Terasa ada cairan kental di ujung jari-jarinya.

Oyo yang gemas dengan sikap ling-lung nya Lara pun berinisiatif untuk menggendongnya.

Namun, tangannya di tahan dengan cepat oleh Aurel. Oyo menatap bingung pada gadis itu dan tatapan mata Aurel menyiratkan agar mereka memapah Lara saja.

"Gue pegang di sebelah kanan, lo di sebelah kiri."

Oyo tidak membantah dan memilih untuk langsung bergerak. Lara yang berada di tengah-tengah mereka pun hanya bisa memejamkan mata berulang kali, berharap rasa pening itu segera hilang.

***

"Ibu, sarapan yuk?"

Biru memandang miris pada orang yang ada di hadapannya sekarang. Pagi-pagi buta Biru sudah membeli bubur ayam kesukaan ibunya, berharap bisa menikmati sarapan bersama.

Namun semuanya kembali berbanding terbalik. Ibunya hanya menatap lurus ke arah jendela, tidak mengindahkan keberadaannya sama sekali.

"Ini bubur ayamnya pake kacang yang banyak loh. Buka mulutnya ya, Bu?"

Lagi-lagi Biru berusaha, selalu berpikiran positif bahwa ibunya membaik, ada perkembangan pada perempuan paruh baya itu.

Semenjak Biru membawa Lara untuk menjenguk, ibunya selalu memberikan perkembangan positif setiap harinya. Kali ini tidak, terakhir kali Biru menemuinya, ibu masih mau menatap wajahnya, mengelus lembut rambutnya, bahkan tersenyum.

"Atau ayam suirnya mau tambah pake punya Biru?"

Senyuman getir tak kunjung lepas dari wajahnya. Dadanya bergetar hebat. Ibunya kembali lagi seperti dulu, bahkan entah karena apa. Tidak ada respon sama sekali.

Tatapannya kosong ke arah depan. Tanpa disadari, setetes air mata itu jatuh. Biru dengan cepat menghapus jejak air matanya. Bukan ini yang diinginkannya.

"Ibu kenapa? Biru salah?"

Lengan ringkih itu ia sentuh, namun sia-sia. Biru menghembuskan nafas pelan kemudian menutup kembali sterofom berisi bubur ayam milik ibunya.

Mungkin Biru tidak bisa memaksakan keadaan untuk sekarang ini, ibunya masih dalam tahap penyembuhan dan itu artinya banyak kemungkinan terjadi perubahan sikap yang tak terduga.

Biru berusaha berpikiran positif, selalu berusaha walaupun hanya kemungkinan kecil berbuah manis.

"Sus, saya taruh disini ya buburnya. Nanti coba bujuk Ibu untuk makan."

Biru tersenyum kecil pada suster yang berdiri di belakangnya. Perlahan, tangannya mengayun lembut menyusuri tiap helai rambut ibunya.

Biru mencium kening itu cukup lama, berusaha menyiratkan seberapa besar Biru menahan sakit akibat rindunya. Sekali lagi, Biru menatap wajah ibunya, penuh harap.

BILA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang