Satu

28 2 3
                                    

Matahari bersinar. Jam dimeja kecil itu sudah lama berdering. Tapi Raya Januardian makin menarik dalam selimutnya. "Huuaaaaah", erangnya malas sembari meraba mejanya, mencari sumber bunyi yang sudah berkicau membangunkannya. Dengan samar matanya menangkap arah jarum jam. Dengan sukses jarum jam itu dapat membuka mata Raya yang sipit. Raya melompat meraih handuk di dekat lemari pakaiannya. Setelah beberapa menit Raya berada dikamar mandi ia bersiap mengambil tas dan ponselnya.

Laju langkahnya terhenti melihat bungkusan nasi uduk yang ada dimeja. Dengan sigap Raya menyambarnya, "Ma, terima kasih. Aku sayang Mama. Aku berangkat. Dah!". Sekejap Raya berlari menuju tempat kerjanya.

Aldi melipat kedua tangannya di depan dada. Senyumnya melebar mendapati sosok yang ditunggunya mendekat.

"Hari ini kau datang 5 menit lebih awal dari biasanya. Good job Ay!", ledeknya dengan alis terangkat. Raya menyipitkan matanya.

"Hah! Kau tahu? Aku benci hari Senin. Tidak sepenuhnya. Tapi kenapa aku harus selalu terburu-buru di hari Senin? Harusnya tak ada yang mengharuskan hari Senin harus datang lebih awal. Padahal kemarin itu kita baru saja menghabiskan waktu untuk liburan ...".

"Dan kau tahu? Kau terlalu banyak menghabiskanwaktu liburanmu untuk bersenang-senang. Bahkan kau tak pernah berpikir kauharus istirahat untuk bersiap besok. Benar, bukan?" Aldi menyela gerutuan Raya.Raya hanya menghela nafas sebelum kemudian ia mengangguk membenarkan kata-kataAldi. "Lebih baik kau habiskan bekalmu segera sebelum kau mengarang alasanlemas karena belum sarapan", lanjut Aldi. Mulut Raya terbuka setelah mendengarkata-kata Aldi.

"Bagaimana kau ...". Belum sempat Raya selesai menanyakan Aldi menyela, "Aku mengenalmu Raya Januardian. Bahkan aku bisa menebak menu sarapanmu hari ini. Nasi uduk". Aldi berjalan masuk dengan terkekeh diikuti dengan muka cemberut yang di pasang Raya setelah membenarkan tebakan Aldi.

*****

Aldi tersenyum dan menggeleng melihat Raya memegangi kepalanya yang diletakkan di atas meja.

"Letakkan dulu saja kepalamu dan ayo kita istirahat. Perutku sudah sangat berisik minta diisi", ledek Aldi. Raya buru-buru mengangkat kepalanya.

"Kau kira kepalaku ini apa? Sini kau contohkan dulu kepalamu baru aku akan mengikutinya." Kata Raya segera bangkit dan melangkah menuju kantin kantornya. Aldi terkekeh sembari mengikuti.

"Bagaimana kabar tentang pengajuan beasiswamukuliah di luar negeri?" Tanya Aldi sambil mempersilahkan Raya duduk di bangku.Raya mengangkat bahunya cepat. Lalu ia cepat memesan semangkuk bakso dansegelas teh manis. Makanan favoritnya ketika waktu istirahat kantor tiba. Baksohangat dapat menjadi penyuntik semangat hingga ia kemungkinan besar dapatkembali bersemangat.

"Kau tidak membawa novelmu?" tanya Aldi.

"Tidak. Aku meninggalkannya di rumah. Lebih tepatnya ia tak mau berteriak 'tunggu aku!' ketika aku melesat keluar rumah akibat jam weker yang berisik itu." Jelas Raya sambil berakting seolah novelnya bernyawa dan dapat berkata seperti yang ia katakan. Aldi tertawa mendengar Raya. Raya selalu menyenangkan bagi Aldi. Ia ceria. Berbeda dengannya. Aldi tak pernah sedekat itu dengan seorang gadis. Kecuali Raya dan seorang yang ada di masa lalunya. Raya dan gadis itu memiliki banyak kesamaan. Hanya saja Raya lebih sederhana.

"Hei kau tahu? Aku heran. Jarang sekali kau menanyakan tentang novelku? Ada apa?" selidik Raya.

"Memangnya tidak boleh?"

"Kau selalu mengkritik karena aku lebih suka membaca novel daripada hanya mendengarkanmu berbicara yang, yah, mungkin aku tidak mengerti. Apa kau suka novelku?" selidik Raya.

HONESTWhere stories live. Discover now