Chapter 4

4.3K 515 40
                                    

Chunceon, 13 tahun yang lalu.

Jalanan terlihat lebih lengang dari biasanya karena salju turun cukup lebat. Sebagian orang berpikir berdiam di dalam rumah yang hangat pasti lebih baik daripada melajukan kendaraan mereka di permukaan jalan yang licin. Percayalah, Tuan Park juga berpikir seperti itu. Kalau saja dia tahu salju akan turun, dia tidak akan mengajak istri dan anak-anaknya jauh-jauh ke Seoul untuk makan malam hingga berakhir dengan terjebak hujan salju seperti ini.

Tuan Park melirik sekilas istri dan kedua putranya yang tampak kedinginan didalam mobil tua itu, kemudian mempercepat laju kendaraannya, dia hanya ingin cepat sampai di rumahnya. Setidaknya rumah mereka jauh lebih lebih hangat, begitu pikirnya.

"Pelan-pelan saja, sayang. Jalanannya licin." ucap sang istri, mengingatkan. Tangannya terulur mengusap bahu pria yang dicintainya itu dengan lembut.

"Iya Appa, lagi pula sebentar lagi kita sampai." imbuh si sulung yang duduk di kursi belakang. Tuan Park tersenyum kemudian mengurangi kecepatan laju kendaraannya.

"Kita hanya perlu melewati traffic light didepan sana, belok kiri dan kita sampai. Iya kan, hyung." giliran si bungsu yang menyahuti -lengkap dengan ekspresi imutnya. Bocah berusia 5 tahun itu bahkan merajuk didalam pelukkan kakaknya. Memaksa yang lebih tua untuk membenarkan ucapannya.

"Eumm..kau benar, Jim." jawab si sulung sambil mengusap Surai eboni milik adiknya dengan gemas. Membuat bocah bernama Jimin itu tersenyum senang. Dia suka saat kakaknya mengusak rambutnya, dia suka saat tangan hangat kakaknya menyentuhnya.

"Jimin sudah pintar kan sekarang?" bocah itu kembali berucap dengan penuh semangat, "Jin hyung mengajari Jimin banyak hal saat Eomma dan Appa bekerja. Jimin juga hafal jalan dari sekolah ke rumah, jadi Jimin tidak akan tersesat lagi." bocah itu berceloteh panjang lebar saat sang ibu menoleh ke arahnya.

"Benarkah?" jawab sang ibu antusias -mengimbangi semangat putra bungsunya. Tuan Park ikut tersenyum menatap kedua putranya.

"Jin hyung bilang, Jimin harus belajar mandiri, Jimin tidak boleh merepotkan eomma karena Jimin akan punya adik. Jimin --euump."

Seokjin yang panik dengan cepat menutup mulut adiknya, Seokjin memang sering berkata seperti itu untuk membujuk Jimin kalau-kalau sifat manja anak itu 'kumat', dan dia tidak berpikir Jiminnya yang polos akan menceritakannya pada sang eomma.
Jimin terus meronta tapi Seokjin malah memeluknya semakin erat --rasakan, siapa suruh bicara tanpa berpikir dulu.

"Seokjin!"

Atensi Seokjin kini beralih pada kedua orang tuanya yang tengah menatapnya.

"Jangan bicara pada adikmu yang tidak-tidak, Seokjin!" ucap Tuan Park tegas kemudian kembali menatap lurus kedepan. Memerhatikan jalanan dihadapannya.

"Anak nakal." imbuh sang ibu tanpa suara. Seokjin tersenyum kikuk, dia bisa melihat gerak bibir ibunya saat mengucapkan kata itu.

"Ini tidak seperti apa yang Eomma dan Appa pikirkan, sungguh." ucap Seokjin kemudian kembali tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya. Dia beralih menatap Jimin, lalu memukul kepalanya pelan.

"Yak! Kau senang aku dimarahi eomma dan appa?" Seokjin memeluk tubuh mungil adiknya semakin erat membuat yang dipeluk kesal.

"Aaaaah, Hyung lep- APPA AWAS!" teriakan si bungsu berhasil mengembalikan fokus mereka, namun semuanya sudah terlambat.

Dan yang terjadi selanjutnya hanya cahaya putih menyilaukan dari mobil lain dihadapan mereka yang terlihat, disusul dengan bunyi nyaring dan dentuman keras.

FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang