Chapter 13

2.6K 330 15
                                    


Jimin memutar tubuhnya setelah memasukan kopernya ke dalam bagasi taksi yang akan mengantarnya menuju bandara. Ya, Jimin memutuskan untuk pergi secepat mungkin. Bahkan sepulangnya dari Chuncheon—mengunjungi makam kedua orang tuanya, Jimin kembali meminta pada Tuan Kim agar diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan segera mengurus kepergiannya.

Tidak ada gunanya Jimin berlama-lama disana, tidak akan ada yang berubah. Jimin akan tetap sendirian.

Jimin berusaha tegar meski hatinya masih terasa berat, melepaskan tentu bukan hal mudah untuk dilakukan kendati semua ini sudah menjadi keputusannya.

Ditatapnya bangunan tua yang dia sewa untuk menjadi tempatnya bernaung selama ini, untuk terakhir kalinya. Rumah yang selalu Jimin harapkan bisa dia tinggali bersama Seokjin suatu hari nanti, rumah yang menjadi saksi bagaimana Jimin menjalani hidupnya seorang diri.

Satu titik air mata jatuh, namun dengan cepat pemuda itu menghapusnya sebelum akhirnya kembali mengambil langkah, membuka pintu belakang—di sisi bangku penumpang.

Brak!

Pintu yang sudah terbuka itu kembali tertutup dengan sebuah dorongan keras. Bukan Jimin yang melakukannya karena dia justru terlihat sangat terkejut.

Kepalanya menoleh dengan cepat, Jimin menatap jengah seseorang yang kini berdiri di hadapannya—seseorang yang selalu menatapnya dengan seringai menyebalkan di wajahnya. Ya, Choi Seungcheol.

"Kau benar-benar akan pergi?" tanyanya dengan tatapan tajam yang menghujam tepat pada kedua manik Jimin.

"Bukan urusanmu," Jimin menyahut datar, sama sekali tidak mempedulikan tatapan yang Seungcheol tunjukan. Kemudian tangannya kembali bergerak membuka pintu, tidak ingin menanggapi orang gila seperti Seungcheol, terlalu membuang waktu.

Brak!

Namun lagi-lagi Seungcheol menghalanginya, kali ini pemuda itu tertawa keras membuat Jimin semakin muak.

"Daebak." ucapnya, kemudian tanpa mengalihkan pandangannya pemuda itu kembali berujar, "Aku penasaran apa yang lelaki tua itu katakan sampai kau mau menurutinya begitu saja." Seungcheol menggeleng tak percaya, "Kesalahan apa yang sudah kau lakukan padanya? Apa lebih besar dari yang kau lakukan padaku? Kau bahkan menolak saat aku memintamu–"

"Tutup mulutmu Choi Seungcheol!" dengan cepat Jimin memotongnya, membuat Seungcheol kembali tertawa.

"Apa semua yang aku lakukan selama ini tidak cukup untukmu?"

"Cukup?" Seungcheol tergelak, "Bahkan sampai kau matipun, kesalahanmu tidak akan bisa dimaafkan Park Jimin."

Jimin menatap Seungcheol dalam diam, tangannya mengepal namun sekuat tenaga Jimin menahan emosinya. Tatapan tajam Seungcheol perlahan berubah, tergantikan oleh sorot meremehkan seperti biasa.

"Pergilah. Setelah apa yang kulakukan, kuanggap kita impas." ucapnya, menimbulkan banyak pertanyaan di benak Jimin.

"Tapi..apa kau tidak ingin bertemu kakakmu terlebih dahulu? Kudengar dia sekarat." seringaian mengerikan terpatri di wajah pemuda gila itu saat menyadari perubahan ekspresi yang Jimin tunjukkan tanpa sadar.

"Temui dia, Jimin-ah!" Seungcheol menepuk pundak Jimin pelan, "...paling tidak sekali, sebelum dia mati." lanjutnya diiringi suara kekehan geli yang terdengar memuakkan.

---

Taehyung tidak peduli jika orang-orang menganggapnya gila karena berlari kesetanan di sepanjang koridor, tampak begitu kacau dengan lelehan airmata yang membasahi wajahnya.

FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang