Satu

574 18 0
                                    

Menyebalkan, semakin hari hidupku terasa makin menyebalkan. Hari ini moodku kembali memburuk. Sial! Kenapa dia selalu berhasil membuatku marah sekaligus malu.

"Nana..." panggilnya pelan di seberang pintu. Aku sengaja mengunci pintu kamar selepas sekolah. Meski aku yakin dia tidak mungkin berani masuk tanpa izinku.

"Nana.. maaf.." suaranya menghilang diujung. Sedetik rasa bersalah hinggap di kepalaku namun segera kutepis. Ingatkan aku sedang benar-benar marah saat ini. Aku tidak tahan, lebih dari lima belas menit ia selalu mengulang-ulang maaf dibalik pintu. Jengkel, aku pun beranjak, masih dengan seragam sekolah yang kupakai.

"Diem! Jangan pernah panggil aku Nana, Tantri! Panggil aku Rey!" suaraku meninggi tak terkendali. Wajah bengisku tak bisa lagi kusembunyikan, egoku masih mendominasi hingga aku tak peduli seseorang di depanku sudah gemetar menahan tangis., "Nangis lagi, dasar cemen!."

BLAM

Sengaja kubanting pintu untuk menegaskan bahwa aku sedang marah padanya. Aku sudah tidak peduli lagi seandainya papa akan menghukumku setelah ini. Aku tidak peduli, hukuman papa tidak sebanding dengan kacaunya hidupku setelah seseorang yang bernama Tantri eh Tandrie hadir dan menyita semua kasih sayang papa mama.

Reyna Kusuma Atmaja, semua orang mengenalku sebagai gadis yang beruntung. Akademis bagus, keluarga mapan, anak tunggal dan pastinya kasih sayang papa-mama yang berlimpah. Sejak aku duduk di bangku SMP mama berubah menjadi lebih alim dan tidak lagi berdandan ala tante-tante sosialita. Tanpa paksaan, papa-mama memotivasiku berhijab. Aku? Cuek aja. Karena aku tidak seperti gadis manis yang feminim, aku cenderung tomboy dan berhijab hanyalah membuatku terlihat gemulai. Aku geli membayangkannya.

Duar! Hidupku bagai disambar petir pagi itu. Seseorang yang asing hadir dalam sarapan pagi kami. Kesan pertama yang kutemui ia begitu tampak lusuh, rambut sebahu berantakan, aku tak yakin ia perempuan. Namun juga sangsi apakah ia laki-laki.

"Nana, sini duduk. Kenalkan ini kakakmu, Tandrie." Ucapan lembut mama tidak berhasil menetralkan keterkejutanku. Apa mama bilang? Kakak? Apa ini mimpi? Oh, God! This is nightmare!

"Ma..maksud mama?" aku urung duduk, percakapan pagi ini masih membuatku terkejut. Aku punya kakak? Tunggu-tunggu, jadi mama memungut anak yang umurnya diatasku. Untuk apa?

"Maafkan mama sayang, sebelum dengan papamu mama sebenarnya sudah memiliki seorang anak. Ia terpisah sama mama dan ikut ayahnya ke Thailand. Sekarang, Tandrie akan tinggal bersama kita."

"Enak banget ya, sekarang mau nebeng disini?" ucapku sinis, ups! Terlalu sulit mengontrolnya. Padahal aku selalu berusaha sopan dan jadi anak manis dihadapan papa mama.

"Nana!" entah mengapa aku sakit hati dengan nada tinggi papa. Papa jahat, kenapa berteriak ke Nana?

"Kok papa terima gitu aja? Nana males punya kakak, apalagi kayak gembel gitu! Nana sudah nyaman jadi anak tunggal" nada suaraku ternyata memicu pertengkaran di sarapan damai kami. Sekilas aku lihat sosok Tandrie, bahunya bergetar pelan. Aku rasa ia menahan air matanya, hah! Kayaknya aku akan menjadi sosok antagonis untuknya.

"Nana, papa tidak pernah mengajarimu menilai orang dari pakaiannya!" aku mengacuhkan tatapan marah papa dan tatapan memelas mama. Aku tidak ingin orang lain, cukup aku dan papa-mama. Lihatlah betapa singkatnya ia meraih simpati papa-mama, sedangkan aku? Butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan kasih sayang papa-mama, butuh bertahun-tahun agar papa-mama sadar ada anak diantara mereka, bukan hanya pekerjaan. Sial! Awas saja kau Tantri!

"Selamat, loe udah jadi penghancur hidup gue!" ucapku penuh penekanan, mendidihkan suasana pagi yang telah memanas.

Surat-Surat Kakak (1) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang