Enam

239 12 0
                                    

Sinar pagi menyapa, aku terbangun dengan rasa bingung. Aku? Semalam? Refleks aku berdiri, denyutan di kepalaku membuatku harus berpegangan pada meja. Lalu sesuatu menyadarkanku, Tandrie!

"Egh.." kudengar suara rintihan. Tandrie, kuharap kau baik-baik saja. Aku segera berlari ke ruangan lain di ruang OSIS ini. Sekolah cukup sepi karena aku baru ingat ini hari minggu.

"Tandrie!" aku kehilangan kata-kata. Kondisi Tandrie jauh dari baik-baik saja. Semua pakaiannya tertanggal. Ia hanya berselimut kemejanya di area pinggang. Aku takut membayangkan kemungkinan yang terjadi. Tangisku semakin menjadi-jadi saat aku menyadari darah di sekitar selangkangannya.

Tolong jangan katakan, Tandrie telah diperkosa secara brutal. Bibirnya bengkak. Tanda merah nyaris di sekujur tubuhnya. Bahkan kesadarannya kini diambang batas.

"Bertahanlah kak, aku akan membawamu ke rumah sakit." Tangisku pecah. Aku belum berani menghubungi papa. Menit-menit berlalu sangat lambat saat aku menunggu ambulans. Lima belas menit serasa lima belas jam.

Diriku disergap ketakutan yang amat sangat. Tolong selamatkan kakakku. Tolong Tandrie jangan tinggalkan aku. Selama ini aku hanya membuatmu menderita. Aku hanya peduli dengan kebahagiannku sendiri. Aku akan sangat menyesal jika Tandrie rusak karenaku.

"Dokter, ba..ba..gaimana keadaan kakak saya?" ternggorokanku perih karena terus menangis dan belum ada cairan apapun yang masuk ke tenggorokanku. Kulihat dokter menghela nafas berat.

"Dia masih belum sadar. Luka fisiknya cukup parah, saya harap adik bisa tenang. Tidak ada kerusakan fisik permanen. Tapi yang lebih mengkhawatirkan jiwanya terguncang, pasien sudah putus asa untuk hidup."

Kudengar tangisan mama pecah kembali. Aku baru berani menelpon papa-mama setelah Tandrie ditangani di IGD.

"Tolong beri motivasi agar pasien mau bangun." lanjut dokter

Segera setelah dokter mengucapkan kalimat itu, mama jatuh pingsan.

"Mama!" aku dan papa berteriak spontan.

Tandrie bodoh! Jangan putus asa. Berjuanglah untuk hidup Tandrie! Biarkan aku yang sekarang berjuang, kak. Maafkan aku yang membiarkanmu berjuang sendirian. Izinkan aku menebus kesalahan-kesalahanku dulu. Tolong, bangunlah kembali.

Dokter itu tidak bohong, Tandrie hingga hari ini belum sadar. Air mataku sudah kering. Mama terguncang hebat hingga kini bahkan tak mau menatap mataku. Aku sakit hati sebenarnya, tapi kesedihan dan rasa bersalahku lebih dalam. Hanya papa yang bisa berpikir rasional, segera papa melapor ke kepolisian dan mempidanakan kakak kelasku, Martin sang Ketos.

Malam itu aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang pasti Tandrie merelakan segalanya untukku, adik yang selalu jahat padanya. Aku tak menyangka Tandrie akan mengambil resiko itu. Kenapa kau harus menyisakah rasa bersalah yang demikian hebat, Tandrie?

"Sayang, mama ingin tunjukkan sesuatu." Akhirnya mama memandangku setelah berminggu-minggu, Tandrie belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Kulihat mama mengambil kotak berwarna softpink. Aku terkejut dengan tulisan di tutupnya. For my little Nana.

"Ini apa, Ma?"

"Mama tidak tahu, yang jelas ini khusus untukmu." Aku menerima kotak itu dengan ragu. Dari siapa?, "Itu dari kamar Tandrie sayang." Mama mewakili pertanyaan di kepalaku., "Mama sebenarnya juga ingin tahu, kalau boleh."

"Tentu mama." Kubuka perlahan kotak itu. Ada surat-surat yang diberi urutan nomor dan satu set hijab warna pink.

"Ah.. ternyata itu untuk Nana." Ucap mama penuh kelegaan.

Surat-Surat Kakak (1) [TAMAT]Where stories live. Discover now