Lima

183 11 0
                                    

Dari anak rumahan aku menjadi anak kost. Tidak betul-betul kos, namun seringnya aku menginap diluar membuatku tidak jauh berbeda dengan teman-teman SMA yang kost. Seperti malam ini, serangkaian penyelenggaraan HUT sekolah seringkali membuat anak-anak organisasi lembur diluar jam pelajaran. Tidak jarang harus di sekolah hingga malam tiba.

Aku sudah benar-benar melupakan rumah. Disini setidaknya aku menemui banyak orang yang memandangku. Aku diakui disini, tidak hanya masalah akademik. Rupanya kemampuan bela diri juga berpengaruh. Wuih capeknya.. di sela mengerjakan berbagai pernak-pernik untuk HUT sekolah aku merenggangkan badan beberapa kali.

"Sudah pada capek?" Martin melempar pertanyaan ke semua anak yang hadir.

"Ya, lumayan. Sudah jam delapan malem ternyata." Rusdi menimpali

"Boleh pulang, pak Ketos?" tanya Lesti dengan wajah lesunya

"Gimana ya?" aku tahu apa yang ada dikepala Martin. Dilema juga, kerjaan masih banyak tapi anak-anak sudah kelelahan. , "Ya sudah, pulang saja kalian."

"Loe?" tanyaku heran, Martin sepertinya tidak berminat pulang.

"Gue masih disini, biar tercapai targetnya."

Aku hanya ber"hmm" tidak berniat membalas lebih lanjut. Aku bisa saja ikut pulang bersama yang lain. Tapi aku kasihan jika ia harus menyelesaikan pekerjaan itu sendiri. Aku masih peduli kok, setidaknya jiwa jahatku tidak sedang bangkit hari ini. Juga ini sebagai penebusanku mengingat belakangan ini Martin bersedia jadi babuku, ya meski dengan ancaman.

Satu jam, dua jam berlalu dalam kesunyian. Kami bekerja dalam diam. Aku baru sadar aku sama sekali tidak canggung hanya berduaan dengan Martin di ruang OSIS ini. Sepertinya rasa suka yang dulu kusimpan menguap begitu saja setelah dengan beraninya Martin melecehkan Tandrie.

Tandrie, kenapa malam ini aku kepikiran dengan dia?. Tidak penting, dia hanya perusak kehidupan orang. Terkhusus kehidupanku. Sejak ada Tandrie aku bagai terusir dari kehidupanku. Adanya Tandrie tak menyisakan ruang bagiku di mata papa-mama.

"Ini cokelat panas." Martin menyodori minuman cokelat tepat di depanku.

"Thanks."

"Gue yang makasih. Udah dibantuin sejauh ini. Boleh nanya?"

"Ya?"

"Loe ma..ma..sih suka sama gue?" aneh juga pikirannya. Dulu ya, kini biasa saja. Malah terkesan banget Martin adalah bawahanku.

"Nggak."

"Oh.. by the way, Tandrie sama loe ada hubungan apa?"

"Maksud loe apa sih, nanya-nanya kayak gitu?."

"Gue pengen miliki Tandrie."

"Loe gay?" aku melotot menghadapnya. Ini tidak boleh dibiarkan. Bisa dibunuh aku sama papa-mama. Aku benci bukannya tidak tahu. Papa-mama mengusahakan terapi intensif selain untuk menyembuhkan trauma yang dimiliki Tandrie juga terapi untuk menumbuhkan sifat maskulin kakak tiriku. "Gay itu salah bego!"

Tangan Martin kulihat terkepal kuat. Terserah Martin mau menganggapku homophobic atau apapun. Tapi ini harus diluruskan. LGBT itu penyimpangan. Bisa balik ke kehidupan normal kok asal tidak menikmati kesalahan. Kalau kesalahan itu dinikmati, maka kesembuhan tentu mustahil. Yang ada mereka akan terus membeo meminta pengakuan dan pemakluman.

"Gue nggak nyangka loe close-minded." Giginya gemeretak menahan marah

"Loe kira loe open-minded kalau mengamini LGBT? Hanya orang-orang yang nggak terima kodrat yang bilang kayak gitu. Rasa bukan ukuran, Martin!"

"Loe kok nyolot sih, suka-suka gue. Dan gue nggak mau ikut aturan loe lagi. Gue nggak mau bully Tandrie lagi."

"Gue nggak akan biarin loe buat Tandrie belok. Fine, jika loe nggak mau bully dia lagi." Nafasku terengah, ada rasa kecewa terselip dalam diriku. Aku sudah sejauh ini benci pada Tandrie, namun aku tidak bisa memungkiri. Ia tetaplah kakakku, meski kami beda ayah. Tentu saja aku tidak rela Tandrie belok ke jalan yang salah.

Aku sudah terjebak permainan yang kubuat sendiri. Kini semua sudah terlanjur. Kini aku justru khawatir dengan kata-kata Martin. Benarkah, ia serius akan memiliki Tandrie? Bayangan kesedihan papa-mama begitu jelas dibalik pelupuk mataku.

"Loe emang cewek brengsek, perhitungan gue sebentar lagi dimulai." Senyum itu, aku ingat itu senyum yang ia gunakan sesaat sebelum aku membuat pipinya lebam kala itu.

Aku terhuyun. Kepalaku pening. Mampus, aku kenapa?

"Kau lihat? Obatnya sudah mulai bereaksi."

"Maksud loe?" aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar. Martin benar-benar lihai memainkan peran. Selama ini kukira aku sudah benar-benar mengontrolnya. Ternyata aku salah. Ia menampakkan taringnya yang sesungguhnya, pria berkuasa yang tidak rela diinjak seorang wanita.

"Meski loe jago karate, loe teteplah cewek. Dan gue nggak segan-segan nyakitin loe untuk mendapatkan Tandrie. Bersiaplah sayang.." suaranya bagai alarm di kepalaku.

Aku merasa tidak berdaya. Obat itu sudah cukup menunjukkan efeknya. Hanya mengandalkan insting menyelamatkan diri aku menyambar ponselku dan menyalakan video call. Dengan mata yang semakin memburam aku bermaksud men­dial nomor papa. Please, papa. Tolong Reyna sekarang! Aku tidak ingin hidupku semakin hancur.

"Dasar cewek bodoh, memangnya ada yang akan menolongmu?"

Aku berusaha lari dengan sisa kesadaranku. Siapapun tolong aku! Aku menubruk sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Dia bukan Martin, aku mengenali badan kurusnya. Tandrie. Lalu semuanya gelap.

Surat-Surat Kakak (1) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang