Tiga

202 11 0
                                    

"Loe suka sama gue, kan?" tatapku kesal kepada siswa terganteng di sekolah ini. Martin, sialan!

"Rey, aku bisa jelasin! Tentu saja aku sukanya sama kamu!" Martin memperlihatkan raut khawatir. Ya, dia harus khawatir sebelum sebelah pipinya kubuat memar atau kupatahkan hidungnya. Aku tadi memukul pipi kirinya dengan beringas, aku marah bisa-bisanya ia melecehkan Tandrie!

"Apa yang loe lakuin ke Tandrie, brengsek!" meski aku membencinya, membullynya setiap waktu aku tetap merasa ada yang salah jika Martin melakukan pelecehan pada Tandrie.

"Dia yang memulainya, Rey." Bantah Martin. Aku memincingkan mata, tanda bahwa aku meragukan keterangan Martin. Aku berusaha berpikir rasional. Martin terus menyangkal bahwa ia bersalah, ia bersikeras bahwa Tandrie yang menggodanya.

"Aku melihatnya, brengsek!" ucapku membungkam bantahan Martin. Jelas sekali bahwa Martinlah yang memojokkan Tandrie di dinding belakang sekolah, mengekang kedua tangannya dan memaksa menciumnya. Duh, darahku mendidih atas perlakukan menjijikan Martin. Bisa-bisanya dia berhasil menjadi ketos.

BUGH

Aku kembali memukul Martin di perut dan hidungnya hingga berdarah. Selamat, Martin! kadar kegantenganmu turun hingga ke titik nol. Aku tidak menyangka selama ini naksir cowok yang salah.

"Loe, homo! Ikut gue!" Aku terlalu fokus pada kemarahan sehingga aku lupa mengecek kondisi Tandrie. Kutarik tangannya, berjalan menuju UKS. Astaga, bibirnya berdarah!

Kami terdiam di UKS, aku juga masih syok kenapa aku tiba-tiba peduli dengan Tandrie. Kurasa begitu juga dengan dia. Ah, biarkanlah aku menjadi anak baik sesekali. Kecanggungan itu aku usir dengan fokus mengobati Tandrie, ternyata tidak hanya bibirnya yang berdarah. Kepala bagian belakangnya juga benjol, mungkin efek didorong Martin sialan itu ke dinding. Rasa bersalah kembali muncul ketika lebam biru di tangannya masih belum hilang. Yang ini hasil ulahku beberapa hari yang lalu.

"Ma..ma..kasih." ucapnya terbata. Aku terharu, hingga setetes air mata meluncur dari mata indah Tandrie. Selama ini aku tidak pernah baik padanya.

"Apa yang seperti ini sering?" aku harap jawabannya tidak. Bagaimana aku buta pada kondisi kakak tiriku? Cemburu memang membutakan segalanya. Satu menit, lima menit berlalu. Aku tak kunjung mendapat jawaban. Aku mendongak menatap langsung ke matanya.

Cukup! Aku tak sanggup lagi melihat air mata itu. Mata Tandrie sudah menjawab segalanya. Ada gurat luka mendalam di mata itu. Kurasa apa yang kusaksikan masih selembar tipis dari kondisi yang sebenarnya.

"Siapa saja yang pernah melecehkanmu, hmm?" gigiku gemeletuk menahan amarah kepada siapapun yang melecehkan Tandrie! Ini sudah diluar batas., "Jawab dengan jujur, Tandrie!"

Sama sekali aku tak pernah berfikir bahwa pertanyaanku akan membawa dampak buruk terhadap kondisi Tandrie. Ia menggigil ketakutan, sorot matanya meraung meminta tolong. Aku gelagapan, aku tidak bermaksud untuk menyakitinya. Sungguh!

"Tidak! Please, no!"

"Tandrie!" ia jatuh terduduk dari ranjang UKS, menekuk lututnya dan memeluknya erat. Seolah-olah memeluk dirinya bisa melindungi dirinya agar tidak hancur.

"It's hurt! Please, let me go!"

"Tandrie, ada apa?" aku jadi ikut panik. Sebenarnya ia kenapa? Aku berusaha menenangkannya. Bisa gawat kalau ada yang tahu, aku pasti jadi tersangka.

"No, papa. Please, papa. Don't sell me!"

DEG.

Aku membeku dengan kalimat terakhir Tandrie. Apa yang terjadi di masa lalunya? Raungannya makin menjadi-jadi membuatku semakin dilanda panik. Dan ketika aku bermaksud menenangkannya dengan pelukan. Ia pingsan

"Papa, Kak Tandrie pingsan di sekolah!" tangisku seketika pecah saat respon papa kudengar dari seberang ponselku.

Air mata mama tak berhenti mengalir. Potongan kisah Tandrie mulai terkuak. Tak bisa kubohongi aku masih cemburu melihat kepanikan papa-mama untuk Tandrie. Seolah-olah hanya ada Tandrie tanpa Reyna. Disini mama memang yang paling terpukul. Bisa kupahami, Tandrie adalah bagian dari mama dan mama adalah bagian dari Tandrie. Ikatan ibu dan anak sangat kuat. Mama, jika aku yang berbaring disana akankah mama menangis untukku?

"Sayang, kau apakan Tandrie?" aku tersentak dengan ucapan mama. Mengapa mama langsung main tuduh? Sebegitu jahatkah aku dimata mama?

"Aku..aku..."

"Papa kecewa sama kamu Nana!" papa juga menyalahkan Reyna? Aku tak menyangka. Kemarahanku kembali menguap. Kucabut niat baik untuk menerima Tandrie. Cukup Tandrie, aku tidak rela hanya kau yang bahagia. Tak akan ku biarkan kau bahagia.

"Terus pa.. terus bela Tantri! Anggap aja Nana nggak ada."

"Nana, kenapa kamu tidak mau mengerti sedikit saja." Mama mengatakan dengan sesenggukan. Bagiku lebih terdengar sebagai tuduhan.

"Tandrie, Nana. Bukan Tantri."

"Tantri lebih cocok, pa. Banci kaleng aja."

PLAK.

Aku tak sanggup lagi, berlari sekencang mungkin adalah pelarianku kini. Kulupakan fakta bahwa dompetku ketinggalan. Baiklah aku akan pulang dengan berlari. Aku bukan cewek lemah. Ingatkan juga energi kemarahan sanggup membuatku berjalan sejauh lima kilometer. Aku tak langsung pulang, kubiarkan diriku menangisi takdir sebagai yang kedua.

"Gue benar-benar benci loe, Tantri!" teriaku kencang di taman sore itu. Aku marah, frustasi, benci dengan diriku sendiri. Aku rindu keadaanku yang dulu. Tak pernah papa membentakku apalagi sampai menamparku. Kuelus pipi kiriku. Tak perih sebenarnya, tapi hatiku lebih sakit dibanding bekas tamparan papa. Dan ini semua gara-gara Tantri sialan.

Terbesit sesal mengapa tadi menolongnya, mencoba peduli. Aku tertawa miris sendirian. Tak semua baik akan berakhir dengan baik, bukan?. Aku meyakinkan diri tak akan menyebrang ke pihak protagonis, aku akan selalu menjadi antagonis untukmu Tantri. 

Surat-Surat Kakak (1) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang