Dua

290 11 0
                                    

"Pagi, Rey!" suara maskulin menyambangi telingaku. Sapaan biasa sih, tapi kalau dari Kak Martin kok rasanya istimewa ya. Blush... pipiku memerah tanpa kusadari.

"Pagi juga, Kak Martin." Jawabku senormal mungkin. Duh, papa-mama sudah berkali-kali memberi ceramah tentang pacaran. Ah, sudahlah! Lagian mana tahan kalau didekatku ada sosok setampan Kak Martin. Ketos pula.

"Pagi, Tandrie. Kau terlihat bersemangat hari ini?" tunggu-tunggu kenapa sapaan ke Tantri sialan itu lebih panjang?. Dan apa-apaan Kak Martin lebih memilih si Tantri! Apakah tidak cukup mencuri perhatian papa mama, kenapa harus Kak Martin juga?

"He-eh." Tantri hanya menjawab singkat. Awas kalau berani genit ke Kak Martin. Habislah nyawamu. Pagi-pagi kesalku sudah muncul, sengaja kugebrak meja dan segera duduk di kursiku. Tepat dua baris di belakang si Tantri.

Aku bete, tidak cukup Tantri menginvasi rumah ia sekarang sekelas denganku di kelas sepuluh SMA negeri di kota ini. Aku tidak mau repot-repot kepo kenapa di usianya yang ke delapan belas baru masuk SMA. Yang lebih sial ia tidak terlihat berusia delapan belas, lebih terlihat e..lima belas tahun?. Oke, aku akui aku iri dengan kulit putih mulusnya, wajah naturalnya membuat banyak orang baik laki-laki maupun perempuan tidak jenuh memandang wajahnya. Sial kuadrat, kan?

Di sekolah tidak ada yang tahu kalau Tantri dan aku saudara tiri. Aku sudah mengancam Tantri. Dan disekolah hubunganku dan Tantri adalah pembully dan korban bully. Setiap kesempatan memang aku gunakan untuk melakukan bullying pada kakak yang tidak aku inginkan ini. Ia tak pernah mengeluh, melawan ataupun sekedar menghindariku. Ini juga membuatku frustasi. Aku kesal, karena kini aku tidak lagi menjadi primadona baik di rumah atau disekolah. Aku tidak pernah tahu dan tidak mau tahu apakah sekarang Tantri lebih bahagia atau lebih menderita ketimbang bersama ayahnya dulu di Thailand.

"Na, eh-Rey." Ia selalu gugup bila berbicara denganku. Kulirih sebentar, pergelangan tangannya masih membiru. Aku tahu itu kenapa, meski papa mama tidak mencurigaiku sama sekali, sejauh ini.

"Apa?" ucapku ketus

"I..ini aku buatkan ce..cemilan." Ia meletakkan nampan berisi pisang coklat buatannya tidak lupa semangkok sop buah terhidang menggugah selera. Sejujurnya aku memang lapar, tapi nanggung sebentar lagi proker yang kususun selesai. Khawatir kalau kusela makan ide akan hilang, "Jangan diforsir, Rey." Ucapnya penuh perhatian.

"Sudah, sana. Jangan ganggu!. Gue tetep benci loe!" bukannya aku tidak melihat tatapan terluka di kedua mata indahnya, hanya saja aku masih belum menerima bagaimana ia dengan begitu mudah menyedot perhatian orang-orang yang kusayangi. Aku terbakar cemburu. Kini usahaku menjadi double, adanya Tantri membuat aku harus ekstra keras agar diperhatikan. Api kecemburuan itu makin menyala-nyala manakala saat penerimaan raport semester lalu, Tandrie meraih peringkat diatasku, nilai kami hanya terpaut dua belas point saja. Aku meraung tak terima, tentu saja semua kulakukan dibelakang papa-mama dan Tantri tak sedikitpun mengadu. Bagus, lah!

"Ehm... enak." Ucapku tanpa sadar, dan refleks tanganku kembali meraih pisang cokelat. Ada kalanya di saat Tandrie begitu perhatian, rasa bersalah menyeruak. Aku tidak buta dengan usahanya meraih hatiku sejak hari pertama menginjakkan kaki di rumah ini. Apalagi papa sengaja memberikan ruangan tepat di depan kamarku sebagai kamar Tandrie. Agar kami akrab, begitu alasan papa. Mama tak pernah absen setiap malam berkunjung ke kamar Tandrie, membuatku iri saja.

Ingatanku melayang di malam itu, tak bisa kuabaikan suara tangis lirih dari kamar Tandrie.

"Ma, apa memang Tandrie ditakdirkan begini?" suaranya begitu lemah dan terlihat sangat lelah.

"Sayang, bagaimanapun keadaanmu. Kau tetap kebanggaan mama, kau sempurna untuk mama. Betapa pun berbedanya engkau dengan orang lain." Ah, mama! Engkau memang mama terhebat sedunia. Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk menguping.

"Tapi ma, Tandrie merasa bersalah. Tandrie tidak seperti Reyna yang jelas identitas dan orientasi seksualnya."

Aku tertegun, jadi selama ini ia menangis bukan karena perlakuan bengisku padanya. Tapi, apa maksudnya dengan...? pemikiranku mulai berimajinasi kemana-mana.

Kuakui aku memang tomboy, itu semata-mata karena pandangan bahwa cewek tomboy itu lebih keren, tidak perlu heboh dengan segala tetek bengek fashion yang ribetnya selangit. Lagi pula tomboy menurutku mengajarkan bahwa jadi cewek harus menonjolkan kemampuan bukan badan. Dan tentu saja aku masih tersipu jika ada cowok ganteng.

Tapi untuk Tandrie, kegelapan api cemburu telah memandulkanku dalam mengamati kakak tiriku dengan seksama. Kini aku baru tersentak, Tandrie memiliki wajah androgini. Ia tampan sekaligus cantik. Ditambah pubertas tidak berpengaruh signifikan pada penambahan massa ototnya membuatku ragu jika Tandrie adalah laki-laki. Hush! Segera kutepis bahwa Tandrie adalah perempuan karena ketika ke sekolah, seragamnya adalah celana panjang bukan rok panjang.

"Sayang, kamu ingat janjimu?" mama bersuara setelah sekian lama

"Tentu mama."

"Mind over matter."

"Hmm?"

"Pemikiran yang kuat akan mengalahkan hambatan fisik. Fokuslah untuk berubah, berikan alasan pada dirimu sendiri untuk bertahan dalam proses perubahan. Ingat sayang, Tandrie Suhendi adalah seorang laki-laki, tidak peduli semirip apapun dirimu dengan perempuan."

"Maafkan, Tandrie ma.." aku ikut terhanyut dengan percakapan mereka. Aku gengsi untuk mengakui bahwa dari Tandrie aku belajar bersyukur meski itu hanya sesepele kejelasan identitas gender.

Surat-Surat Kakak (1) [TAMAT]Where stories live. Discover now