📓15 - Dilema

10.5K 1K 82
                                    

Salah satu hal yg paling menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu begitu takut kehilangan seseorang yang bahkan bukan milikmu.

. . .

Sejak perjanjian kemarin, Bang Jefri terus-terusan bersiap pagi-pagi sekali hanya untuk mengantarkanku sekolah. Maksudku, dia bisa saja tidur dan tak usah mengantarkanku. Aku hanya tidak enak hati saja menyusahkannya terus-menerus. Lagian aku juga bisa naik bus seperti biasanya.

Sesampainya di sekolah, kulihat Revi langsung menghampiri Bang Jefri. Aku tak ingin ikut campur dan melengos lanjut berjalan ke kelas.

"Zel, lo ngelihat Malika nggak?" Elis mencegat saat kakiku baru saja melangkah masuk.

"Revi?"

"Iya," jawabnya sambil menatapku antusias.

"Anu, aku nggak lihat," jawabku kelimpungan

Aku terpaksa berbohong karena tak ingin sahabat-sahabatku bergaduh lagi. Apalagi hanya karena seorang cowok. Apalagi cowok itu adalah abang sepupuku. Aku menghela napas berat. Dapat kudengar Elis mendecak.

"Tu anak main ngilang aja. Ya udah deh."

Elis berjalan ke arah tempat duduk kami. Kuletakkan tas lalu tersenyum kecil. Namun sepertinya gagal karena aku merasa senyumku malah jadinya aneh. Tak berapa lama kemudian, Revi memasuki kelas sambil berjalan kegirangan.

"Seneng banget tu anak kelihatannya?"

"Baru menang lotre kali," ucapku asal.

Seketika Elis mengenggam lengan tanganku. "Tunggu, lo tadi berangkat sama siapa?" Teman sebangkuku itu menatapku tajam. Aku jadi merinding dibuatnya.

"Ba-Bang Jefri."

Seketika aku menutup mulutku. Aduh, kenapa aku berasa polos sekali?

"Oooh, pantesan dia seneng kayak gitu." Elis memandang kesal ke arah Revi. Aku menengguk salivaku kasar.

Elis terdiam seketika ketika Abel dan Arlan berjalan bersama dan duduk bersebelahan di belakang kami. Mataku sedikit melirik ke belakang. Lalu pandanganku beralih ke samping. Dari kejauhan aku dapat melihat Dino duduk bersebelahan dengan Windi. Lalu fokusku kembali ke Elis yang tampak mencak-mencak pelan karena Dino pindah tempat duduk bersama Windi.

Aku malah jadi bertanya-tanya. Kalau Arlan tahu Windi berbuat jahat pada Abel, kenapa dia tak berkata pada Dino? Apa Dino sudah tahu kelakuan Windi?

Spekulasi di dalam otakku berhenti ketika Bu Kara masuk ke dalam kelas. Segera aku mengeluarkan buku pelajaran fisika. Lebih baik aku konsen belajar terlebih dahulu ketimbang memikirkan masalah yang tak berkesudahan.

Jam istirahat berdering. Segera aku membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas. Elis mengajak ke kantin diikuti Racha dan Revi. Kami berempat berjalan menyusuri karidor sekolahan. Namun, entah datang dari mana Rifen sudah muncul saja di hadapanku ketika beberapa langkah lagi kami sampai di kantin.

"Lo mau apalagi sih?" Racha berdiri di depanku seakan melindungi.

"Gue nggak ngomong sama lo." Rifen menjawab dengan nada ketus sambil memandangi Racha kesal.

"Oh, jadi sekarang lo udah nyerah?" Racha bertanya dengan nada menantang.

"Matematika saja punya titik terjenuh, apalagi kita."

Rifen dan Racha kini malah beradu tatapan. Bulu kudukku kini sudah meremang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

"Gue mau ngomong bentar sama Zelin. Gue nggak bakal buat rusuh lagi kok."

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz