📓28 - Melepaskan

7.1K 764 72
                                    

Di antara miliaran orang, kenapa aku harus bertemu kamu?

. . .

Aku kembali bersekolah sesuai janjiku. Karena merasa tidak nyaman, aku malah bertukar tempat duduk dengan Revi. Jadilah aku duduk di depan bersama Racha.

"Lo beneran nggak papa?"

Raut wajah Racha terlihat cemas. Aku menggeleng sembari mengulas sebuah senyuman kecil.

"Lo nggak boleh ngehindar terus. Gue nggak tahu persis masalah lo. Tapi yang jelas, lo harus ngomong baik-baik sama Arlan," ujarnya seraya berbisik. Namun pandangannya masih menuju papan tulis.

Racha menoleh ke arahku. Aku mengangguk kecil, tak tahu harus merespon apalagi. Racha pun tidak bertanya lagi. Aku bersyukur akan itu.

Enaknya duduk depan, aku bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas. Berbeda saat aku duduk di belakang—tidak belakang juga sih—tetapi tetap saja tidak bisa melihat jelas tulisan yang ada di papan tulis. Alhasil aku harus menyalin apa yang Elis tulis.

Untung saja Elis baik, selalu membantuku.

Selama seharian ini, aku dapat menghindari Arlan. Ketika cowok itu ingin berbicara denganku, tepat juga Racha memintaku menemaninya di perpus. Aku langsung saja mengiyakan, asal tidak berbicara dengan Arlan.

Melihat wajah Arlan, hanya membuatku kembali teringat dengan masa laluku. Teringat wajah menyeramkan itu.

"Lo pulang sama siapa?" Elis menyadarkanku dari lamunan.

"Dijemput Bang Jef."

"Gue sama Revi duluan nggak papa, kan?"

"Iya, lanjut aja. Hati-hati ya."

Aku tersenyum saat mereka berdua serempak melambaikan tangan padaku.

"Bye, Zelin! Salam buat abang lo."

Aku tertawa kecil melihat tingkah Revi yang menari tak jelas. Revi selalu saja membuat kehebohan. Aku jadi terhibur melihatnya.

Racha yang baru keluar dari kelas melihatku bingung. Dia pasti baru selesai mencatat ulang semua yang dijelaskan guru tadi.

"Ada aja kelakuan si Revi," ucapnya sambil geleng-geleng kepala.

"Iya tuh."

Aku yakin saat ini Racha pasti menunggu jemputan. Kami duduk bersama di dekat taman depan. Selang tak berapa lama, mendadak Abel menghampiriku.

"Jangan lupa besok syuting. Lo kan salah satu pemeran utama. Masa pemeran utama nggak ada?!"

Oh iya, hampir saja aku terlupa. Untung Abel mengingatkan.

"Oke, Bel."

Abel tidak membalas, hanya menatap kami sarkastik seperti biasa. Tetapi aku tahu, hatinya baik.

"Zel, gue udah dijemput nih."

"Iya, pulang aja," jawabku mengerti.

"Lo nggak mau nebeng gue gitu? Udah sepi loh."

"Nggak papa, aku udah biasa sendirian. Lagian Bang Jefri udah mau nyampai kok."

"Bener nih? Gue jadi nggak enak."

Aku menepuk bahunya, biar terkesan akrab. "Iya, santai aja kali."

Racha mengulas senyuman. "Lo hati-hati ya. Kalau ada apa-apa, telpon gue."

Aku mengangguk sambil memberikan jempol padanya.

"Bye!"

Suasana sekolah sudah sepi. Aku berjalan lalu duduk di dekat gerbang sekolah sembari menunggu untuk dijemput. Bang Jefri mengatakan aku harus pulang dengannya.

Diary Of an Introvert (REPOST)✔Where stories live. Discover now