#15 - Olivia?

1.3K 208 0
                                    

Ollie baru beberapa langkah dari pintu keluar ketika dia mendengar namanya dipanggil. Begitu menoleh, Ollie melihat Sophie, seorang tim event organizer yang kebetulan Ollie kenal karena Kat, berjalan cepat menghampirinya.

"Aku tidak tau kau datang," ucap Sophie begitu berada di hadapan Ollie. Dia memeluk Ollie hangat. "Apa kabar?" tanyanya ramah. Ada earphone hitam yang menempel di telinganya, yang berarti dia salah satu pengatur acara malam ini.

"Baik. Kau apa kabar?"

"Baik. Sebentar," Sophie menyahuti suara dari earphonenya. Dahinya mengernyit.

"Hei, aku tidak mau menganggu pekerjaanmu. Aku duluan, oke? Senang bertemu denganmu," ucap Ollie.

"Tunggu." Sophie mematikan suara dari earphonenya. "Kau tidak mau ke backstage? Ada Brandon."

Ollie mengenal Sophie dan Brandon karena mereka sering menjadi penyelenggara acara yang Kat hadiri. Karena sama-sama lebih suka diam di belakang layar, Ollie sering mengobrol bersama mereka. Sebenarnya bukannya mereka dekat, tapi Sophie memang selalu kelewat ramah. Ollie tidak merasa terganggu dengan itu. Tidak seperti kebanyakan orang di bisnis ini, Sophie dan Brandon termasuk orang yang tulus.

Ollie pun menoleh ke Bryant meminta pendapat. Bryant hanya mengangkat kedua bahunya santai. "Kau bisa sekalian bertemu temanmu," ucapnya.

Sampai Bryant mengucapkan hal itu, Ollie tidak sadar kalau pergi ke backstage berarti akan ada kemungkinan bertemu Edmund. Ollie lupa, atau mungkin masih terkena efek selepas menonton penampilan Edmund. Ollie tidak menyadari kalau dia bukan menonton dari layar kaca. Edmund benar-benar ada di tempat ini.

"Umm," tadinya Ollie mau mengiyakan, tapi sekarang berubah ragu.

Sophie tertawa. "Hal begini saja kau pusingkan." Tanpa permisi Sophie menggandeng Ollie dan menariknya masuk ke daerah backstage. Bryant mengikuti di belakang mereka.

Ollie sedikit panik begitu sampai di backstage. Tapi melihat ramainya orang-orang yang terlihat super sibuk, Ollie tidak yakin Edmund akan menemukannya di sini. Lagipula biasanya para penampil tidak akan lama-lama berada di backstage. Mereka biasanya langsung pulang.

"Olivia!" seru Brandon sama sumringahnya seperti Sophie tadi. "Kau urus pengangkut yang datang, oke?" Brandon memberi perintah anak buahnya sebelum memeluk Ollie hangat. "Apa kabar?"

Ollie tersenyum. "Baik. Kau?"

"Luar biasa," ucap Brandon. Sophie dan Brandon memang duo penuh semangat. "Ini ayahmu?"

Ollie menutup mulutnya menahan tawa. Bryant dengan bangga menjulurkan tangannya menyapa Brandon. "Bryant," ucapnya.

"Brandon," balas Brandon sopan.

"Dia bukan ayahku." Ollie menggelengkan kepalanya, tersenyum geli. "Dia te—"

"Olivia?"

Ollie menoleh dan seketika tubuhnya kaku melihat Edmund berdiri di hadapannya menatapnya dengan kening mengerut dan seringai tipis. Jelas sekali dia masih gembira karena euphoria yang dia ciptakan barusan.

"Kau duluan saja," ucap Edmund pada laki-laki yang barusan berjalan bersamanya. Dia kemudian kembali menoleh ke Ollie. "Aku tidak tau kau datang. Kat di sini juga?" Edmund celingukan mencari orang yang dia harapkan.

Ollie menggelengkan kepalanya. Dia masih syok karena dua hal; kemunculan Edmund yang tiba-tiba dan fakta kalau Edmund masih ingat padanya. "Kat harus terbang ke LA. Dia titip salam," ucap Ollie kikuk.

"Oh," gumam Edmund. Ollie tidak bisa menilai apa Edmund kecewa atau tidak. Tapi seharusnya dia kecewa. "Kau dengan siapa?"

"Aku—ini, aku dengan temanku." Ollie bergeser sedikit agar Edmund bisa melihat Bryant. "Ini Bryant. Bryant, ini... Edmund."

Dengan ramah Edmund mengulurkan tangannya duluan. Bryant menyambutnya. Ollie tidak bisa tidak memperhatikan genggaman tangan Edmund ketika menyalami Bryant. Tegas. Ollie selalu tertarik pada pria yang bersalaman dengan tegas. Ini berarti satu lagi yang ditambahkan di daftar hal-hal yang membuat Edmund menarik. Daftar yang tampaknya tidak ada akhir.

"Hello, sir," sapa Edmund ketika menyalami Bryant.

"Hai." Bryant kembali memasukan tangannya ke kantong celana lepas bersalaman dengan Edmund. "Penampilanmu barusan luar biasa, kid."

Edmund tersenyum. Senyum jenakanya. "Terima kasih," ucapnya tulus.

"Aku tidak bercanda. Benar-benar luar biasa. Aku tidak menyangka akan mendengar tipe lagu seperti itu lagi. Terlebih dari anak seusiamu." Tidak ada unsur menyinggung sedikit pun dari ucapan Bryant. Hanya kagum. Dan Edmund tidak terlihat tersinggung. Dia justru tertawa tersipu. "Aku sungguh-sungguh. Tanya Ollie, aku tidak pernah main-main soal musik."

"Iya, Bryant selalu serius," sahut Ollie dengan ekspresi serius yang meledek. Melihat Edmund tersipu membuat Ollie jauh lebih relaks.

"Terima kasih banyak," wajah Edmund memerah. Ollie tidak tau kalau Edmund memiliki sisi menggemaskan seperti ini.

Bahu Ollie ditepuk Brandon pelan. "Kami tinggal sebentar ya, nanti kita bertemu lagi," bisiknya. Ollie mengangguk lalu kembali memperhatikan percakapan Edmund dan Bryant.

"Di mana aku bisa membeli albummu?" tanya Bryant antusias.

"Albumku belum keluar," jawab Edmund sambil menyeringai. Masih ada sisa-sisa tersipu di wajahnya. "Albumku baru keluar tahun depan."

"Tahun depan? Lama sekali!"

Kedua mata Ollie menyipit menatap Bryant. "Sabarlah, bulan Januari tidak selama itu."

"Baiklah. Kabari aku kalau albummu sudah keluar. Aku mau menjualnya di tempatku." Bryant menepuk bahu Edmund akrab.

"Bryant ini pemilik toko musik independen di Brooklyn," Ollie menjelaskan karena meskipun Edmund langsung mengangguk sopan, Ollie tau dia pasti bingung dengan maksud ucapan Bryant.

"Toko musikku memang tidak seberapa, tapi aku hanya menjual musik berkualitas," tutur Bryant bangga.

"Bryant hanya menjual musik-musik lama. Bisa jadi kau orang pertama yang masih hidup yang ditawari hal itu," ledek Ollie. Edmund terlihat terhibur dengan kedua alis terangkat mendengar pernyataan Ollie. Tentu saja masih banyak pemusik hidup yang musiknya Bryant jual di tokonya. The Who misalnya.

"Dia tidak bercanda," Bryant membubuhi.

Edmund tertawa. "Tentu saja, aku sangat tersanjung dengan penawaranmu. Punya kartu nama? Biar nanti kukirim kopi albumku sebelum rilis." Kedua alis Ollie terangkat mendengar penawaran Edmund. "Aku juga tidak bercanda."

Bryant tertawa, sementara Ollie mendengus tersenyum. "Aku tidak punya kartu nama."

"Sudah kubilang kan sejak lama, buat kartu nama," tegur Ollie.

Edmund sudah mau mengatakan sesuatu, tapi namanya tiba-tiba dipanggil. "Sebentar!" sahut Edmund kepada dua orang yang memanggilnya dari jauh.

Ollie tau, ini saatnya mereka berpisah. Padahal Ollie baru mulai relaks dan suasana terasa menyenangkan.

"Kami akan pergi makan untuk merayakan malam ini. Kalian mau ikut?"

Ollie terkesiap mendengar penawaran Edmund yang sama sekali tidak diduganya. "Tidak, terima kasih. Kami sudah mau pulang," tolak Ollie halus. Bisa berbincang-bincang sebentar dengan Edmund sudah lebih dari cukup. Makan malam bersama tidak terdengar masuk akal.

"Ayolah, hanya sebentar. Lagipula aku masih mau membahas soal toko musikmu, Bryant," paksa Edmund. Seringainya, mood-nya yang ringan, membuat Ollie sulit menolak pria itu. Ollie yakin Edmund bisa mendapatkan apapun hanya bermodalkan senyumnya. Siapa yang mampu menolak?

"Bagaimana Bryant?" Ollie tidak mau yang mengambil keputusan.

"Tidak masalah bagiku. Apalagi untuk urusan bisnis," Bryant terkekeh. Edmund tersenyum semakin lebar.

Berarti iya, Ollie akan pergi makan malam bersama Edmund.

Ghost GirlfriendWhere stories live. Discover now