Ep. 1

6.8K 271 13
                                    

Melihat air yang bergantian turun dari atap rumahnya, membuat ia teringat akan sebuah kisah. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. Mengapa ia selalu nampak bersedih ketika melihat hujan. Beliau menjawab bahwa sebanyak itulah jumlah umatnya yang akan berjatuhan ke neraka. Hati Sahara terasa bergetar ketika mengingat kisah tersebut.

"Kamu sedang apa diluar nak?"
Pertanyaan Umi membuyarkan lamunan Sahara.
"E-eh.. ini Umi, Ara cuma lagi nyari inspirasi buat penulisan novel Ara."

Sahara memang menyukai seni sastra. Hobinya sedari kecil hanyalah menulis dan menulis. Sekarang, Sahara Qoulan Sadiida sang penulis yang namannya telah melambung karena sebuah tulisannya yang berjudul 'Disetiap Sujud' menjadi salah satu karya Best-seller nya. Setiap orang dipastikan akan menangis jika membaca novel itu. Maka tak heran, jika namanya telah dikenal para pecinta novel sekarang.

"Kamu sedang ada masalah nak?"tanya umi khawatir.
"Engga kok Umi, Ara cuma agak kepikiran aja.. soalnya besok, tanggal 1 November Ara diundang untuk jadi pembicara di kajian rutin mingguan. Yang biasanya cuma duduk manis dengerin, eh sekarang harus nyiapin materi. Dan anehnya Umi, kok Ara bisa lupa ya, besok kan udah tanggal 1. Astagfirullah Ara kira masih Oktober."

Umi nya hanya tersenyum geli mendengar ocehan putri bungsunya itu.
"Ngomong-ngomong, bulan ini kamu sudah 20 tahun ya sayang?"
"Iya umi.. kenapa?" Tanya Sahara heran.
"Baguslah. Umi dan Abi sudah tak sabar melihat kamu diatas pelaminan nanti."
"Ihh Umi... Ara kan belum selesai kuliah! Lagian 20 tahun itu masih kecil lah Umi" Sahara tak kuasa menahan tawanya. Bisa-bisanya Uminya ini membicarakan soal pelaminan di usianya yang masih terbilang sangat muda.
"Haha.. memang kenapa kalau masih kuliah? Kan bisa, menikah sambil belajar..apa salahnya? Tanya umi dengan nada menggoda.
"Tapi umi, tulang rusuk dan pemiliknya itu tidak pernah salah, kan? Lalu, kenapa kita harus terburu-buru, jodoh itu bukan siapa cepat dia dapat tapi siapa tepat dia selamat."
"Haha...ya sudah. Terserah kamu saja, lanjut menulis nya dikamar saja ya nak! Cuacanya gak bagus. Putri kecil Umi ini bisa sakit nanti."
"Siap kapten!" Seru Sahara layaknya anak kecil.

.
.
.

Gemericik hujan kembali terdengar. Shubuh ini dinginnya memang serasa menusuk kulit. Selepas melipat sejadahnya, sahara kembali membuka lembaran mushaf Qur'an. Lantunan surah Ar-rahman terdengar merdu di keheningan fajar.

Dan ya! Pagi ini, materi yang telah ia siapkan semalaman telah selesai. Dengan gamis hitam bermotif bunga-bunga di setiap ujungnya, ia segera memasang khimar coklat tua panjang yang terbalut indah menutup rambutnya. Tak lupa dengan kaus kaki dan handshock yang  menutup rapat kaki dan tangan indahnya yang lentik.

"Gak makan dulu, nak?" Tanya Abi khawatir
"Nanti aja bi, kalo sekarang kayaknya udah telat" jawab Sahara tergesa-gesa.

Ia segera berlari menyusuri tangga yang menghubungkan kamarnya dengan ruang makan dan dengan cepat ia menarik mantel abu-abu yang tergantung disebelah pintu keluar.

"Umi, Abi Ara berangkat dulu yaa Assalamualaikum" ucap Sahara sembari mencium tangan kedua orangtuanya.
"Waalaikumsalam...hati-hati ya nak. Oh ya jangan pulang telat ya...malam ini mas mu mau dateng sama istrinya."
"Oh ya? Bukannya mbak Aisyah harusnya masih kerja ya Bi?" Tanya Sahara heran.
"Iya...Abi juga gak tau, mungkin mbak ipar mu itu ngambil cuti untuk beberapa hari."

Aisyah adalah seorang bidan di sebuah rumah sakit ternama di kotanya. Maka tak heran jika agak sulit untuk menghubungi bahkan bertemu dengan kakak ipar kesayangannya itu.

.

Angkutan umum yang Sahara tunggu sejak 25 menit yang lalu tak kunjung datang. Ia melirik jam tangannya berkali-kali. Tapi... "Ahh itu dia." Batinnya. Akhirnya setelah berdiri mematung selama hampir setengah jam angkutan umum itu tiba. Meskipun.. yaa agak "penuh" gerutunya.
"Tapi, Astagfirullah harusnya aku tetap bersyukur." Apapun itu, sekarang aku sudah berada dalam perjalanan."

TRINGGG...!!
Pesan masuk berbunyi di ponsel Sahara. Ia segera merogoh saku mantel nya dan mulai membuka pesan itu.
"Bu Husna" gumamnya, Hati Sahara mulai berdebar-debar. Tentu saja ia merasa tidak enak. Bagaimanapun ini memang sudah telat.

From : Bu Husna (panitia taklim)

"Assalamu'alaikum mbak Sahara.. maaf mbak, tapi sepertinya tamu undangan yang lain sudah mulai berdatangan."

Ia segera menengokkan kepalanya ke arah jalanan. Yaa.. mobil ini memang sedikit..emm lambat. "Ya sudahlah." Baru saja ia mulai mengetik pesan. Tiba-tiba saja mobil ia tumpangi berhenti. "Lho kenapa berhenti?" Tanya nya dalam hati. Ia kembali menengokkan kepalanya. Ah ternyata...

"Macet!" Gerutunya.

Sahara menyandarkan tubuhnya di kursi mobil. Ia memandang ke sekelilingnya. Semuanya terlihat tenang. Bahkan hujan diluar pun terlihat lebih damai. Suara air dan bau khas di saat hujan memang terkadang bisa menenangkan. Bahkan kenangan indah pun banyak terukir di saat itu, Terbalut indah dengan beberapa untai kalimat doa. Tapi tidak dengan hati Sahara. Ia mulai merasa dunia sedang berkompromi untuk menghancurkan hari yang ia tunggu-tunggu sejak lama.
"Ahh.. tidak, bukan itu. Pasti bukan itu maksud Allah." Batinnya.

Ia kembali mengeluarkan ponselnya, dengan cepat ia mengetik pesan untuk membalas pesan dari Bu husna.

To : Bu Husna (panitia taklim)

"Waalaikumsalam.. iya bu. Maaf ya bu.. sepertinya saya akan datang sedikit telat. Tapi sekarang saya sudah di perjalanan. Mungkin beberapa menit lagi sampai."

Sahara mulai memilin khimarnya dengan gelisah. "Ya Allah bagaimana ini?"

BERSAMBUNG...

Gadis November [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang