-11- Disisinya

26.4K 3.9K 98
                                    

Sambil nungguin MAMA kelar satu bab nulis ini. Enjoy reading 😙😙

Mulmed : I Will Go to You Like The First Snow -  Ailee
.
.

Lagi enak-enakan kekepin guling sambil melamun kosong, Kak Dhina datang dengan suara cemprengnya. Yah, pertemuan dengan Aji menyisakan rasa-rasa aneh yang nggak gampang kusingkirkan. Menyebalkan memang.

Yoksimi saenggyeossda neowa hamke salgo neulkeoga

Ish! Dasar Kak Dhina bikin pekak telinga mending suara bagus.

Aku melempar bantal dan nggak kena. “Berisik! Nyanyi gituan nggak akan ngubah Bang Gandi jadi Goblin.” Kak Dhina langsung mengerucutkan bibirnya. “Tapi jadi genderuo,” ejekku yang langsung dapet sambitan bantal.

Aku mau balas tapi ponselku bunyi. Kurogohkan tangan ke bawah bantal.

Bang Gandi?

Keningku langsung kerut, tumben dia telepon aku. Apa karena Kak Dhina nggak angkat ponselnya? Ah, mana mungkin dari tadi dia kotak-katik ponsel sambil pake ear gitu.

“Hallo, Bang,” sahutku langsung.

“Dhini, Dhina ada di situ.”

“Iya, kenapa Abang telepon ke sin—“

“Agak jauhan Dhin. Entar ketauan kakak kamu.”

Aku mendengus; menjauhkan ponsel, kenapa pula harus aku yang menjauh, bagus Kak Dhina yang aku usir. “Kak, sana keluar! Aku mau telponan nih!”

Kak Dhina langsung mencibir, keluar sambil banting pintu.

“Hm. Ya, kenapa Bang?” 

“Abang mau minta tolong.”

“Tolong apa?”

“Minggu ini Abang rencana mau lamar Kakak kamu. Dia sukanya yang romantis gitu. Mau ke Sabang kejauhan jadinya ke Danau Toba aja. Yang penting di air-air gitu.”

Aku kontan terbahak. “Siapa yang nyaranin mesti di air-air gitu?”

“Kakakmu itu semua drama jadi tontonannya, drama IG pun jadi tontonannya. Apa? Pengin dilamar kayak artis Chelsea Island gitu.”

“Chelsea Olivia...” ralatku.

“Ha, Iyaa... Pokoknya,  sewa kapal ngelamar di tengah danau kan nggak terlalu banyak yang liat Dhin. Nggak malu-malu amat. Ntar kamu ikut ya, bawain kado, itu pas hari kita jadian soalnya.” Hm... ini nih, bagian nggak enak. Jadi tukang suruh. “Abang bareng temen juga kok. Jadi ganti-gantian sopirinnya. Biar kamu juga nggak jadi obat nyamuk banget.”

Aku tau kalimat terakhir itu ejekan. “Ngeledek gitu, aku nggak mau bantu loh.”

“Hehe... iya. Canda loh Dhin. Uang jajan Abang transfer deh.” 

“Nah, gitu kan enak. Coba bilang dari awal kan langsung deal.”

“Dasar kamu.”

Baru aja usai teleponan sama Bang Gandi. Panggilan lain muncul di layar. Senyumku mengembang, “Hallo,” seruku riang. Setelah seharian Bang El nggak ada kabar malam ini dia nelpon. Padahal aku butuh banget dia buat mantepin lagi hatiku, biar nggak suka main perasaan sembarangan.

“Dari tadi sibuk banget. Teleponan sama siapa?” tanyanya langsung.

Dahiku kerut, “Oh, itu sama Bang Gandi.”

“Bang Gandi? Siapa?” nada suara Bang El kedengeran penasaran.

Kayaknya seru nih, kalo..., “Hmm... ada sih, cowo, suka teleponin gitu.”

False HopeWhere stories live. Discover now