Chapter 5

188 10 3
                                    

           Hari esok kembali datang pada kami. Sekarang sudah pagi lagi. Remaja itu suka sekali melakukan hal-hal yang menurutnya wajar tapi menurutku tidak. Di antaranya seperti saat dia melompat-lompat sendiri. Saat kutanya, dia menjawab bahwa dia melakukannya agar dia dapat melihat ujung padang rumput ini. Dia juga suka tiba-tiba melompat masuk ke dalam air sungai yang dangkal itu dan menakut-nakuti ikan di dalamnya. Terkadang dia berguling-guling sendiri di rumput dengan alasan punggungnya terasa gatal. Astaga, aku sungguh iba melihatnya.

           Tempat ini masih seperti biasanya. Kosong, hanya dengan angin yang selalu berembus menemani kami. Aku melihat sekeliling dan mencoba untuk berjalan mengelilinginya juga. Aku yang tidak beralaskan kaki ini menginjak rerumputan yang lembut. Aku melewati bangunan-bangunan yang hancur itu. Banyak sekali, juga masih ada sisa perabotan di sekitarnya seperti meja, kursi, lemari, juga laci-laci yang dibiarkan begitu saja di ruang terbuka.

           Aku terus berjalan dan kudapati sesuatu yang menarik perhatianku dari kejauhan. Aku melihat sesuatu yang berwarna merah terang di sana. Aku mendekatinya. "Ah." aku menemukan bunga. Bunga kecil yang banyak berwarna merah terang tumbuh di tanah dengan daun hijaunya yang panjang. Indah sekali. Di sekitarnya, ada juga tumbuhan bunga serupa berwarna merah, yang membedakannya adalah bunga-bunga yang lain itu tumbuh merambat dengan daun yang kecil.

           Aku menyusurinya dan sampailah aku di depan salah satu bekas bangunan hancur yang masih tersisa satu sisi temboknya. Sekarang mataku tertuju pada apa yang dipajang pada tembok itu. Ada sebuah cermin panjang, sebuah gantungan yang digantung banyak kalung, juga pigura. Ada banyak pigura yang memampangkan foto di sana. Ada tiga anak laki-laki yang selalu muncul pada foto-foto itu. Mereka terlihat bahagia. "Bukankah ini indah?" aku terkejut mendengarnya. Remaja itu sudah berada di belakangku.

      "Ini adalah tempat favoritku. Indah, bukan?" katanya lagi.

      "Iya." jawabku singkat karena aku tidak tahu harus berkata apa.

           Aku melihat raut wajahnya. Dia tersenyum. Namun, aku tidak melihat senyuman pada matanya. Tatapan matanya terasa kosong saat dia menatap tembok dengan foto-foto yang terpampang di sana.

      "Permisi, ya ..." ucapnya memintaku untuk menepi. Dia lewat, dia yang tadi berada di belakangku akhirnya berdiri di sampingku. Dia berjongkok, membuka laci pendek di depannya, dia mengambil sesuatu. Sebuah sweater berwarna cokelat yang lembut dengan kacing-kancing hitamnya yang besar itu dikeluarkannya lalu diberikannya padaku.

      "Ambillah." katanya.

      Aku memegang sweater itu dengan kedua tanganku. Tapi aku berkata, "Untuk apa ini?"

      "Tentu saja, untuk kamu pakai. Kamu pikir, sudah berapa hari kamu tidak mengganti bajumu itu?" ucapnya lagi sambil mengeluarkan pakaian-pakaian yang lain.

           Kalau dipikir-pikir, benar juga. Sudah berapa hari aku mengenakan pakaian ini? Hanya kaus putih lengan panjang dengan celana panjang yang longgar pula. Aku yakin sudah bau sekali. Hanya saja karena indraku yang sudah tidak tajam ini membuatku tidak sadar. Dia memberiku pakaian yang lain, sebuah kaus putih dan celana panjang yang tidak begitu longgar.

      "Terima kasih." ucapku padanya.

      "Sama-sama." jawabnya.

           Aku kembali memusatkan pandanganku pada foto-foto itu dan dengan spontan aku bertanya, "Siapa mereka?" remaja itu terdiam sejenak sampai dia menjawab, "Itu aku." katanya, "Yah, tepatnya, itu aku dan saudara-saudaraku."

      "Mereka tidak di sini?" tanyaku.

     "Iya, mereka di sini." jawabnya, "tapi itu dulu."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang