Chapter 17

96 10 0
                                    

           Anak itu menatap tajam sekelompok orang yang jadi lawan bicaranya, namun, mulutnya tersenyum agar tampak ramah. Kedua tangannya menyodorkan bunga itu agar dilihat. Gugup, jelas, aku yakin dia gugup sekarang. Apalagi dia memang sudah lama tidak berinteraksi dengan orang lain selain denganku yang baru ditemuinya beberapa waktu itu. Kira-kira apa tanggapan mereka? Apakah akan berbuah manis atau justru sebaliknya, kemungkinan terburuknya, akan berbuah pahit?

           Aku masih berdiri diam di tempatku berpijak. Hanya memerhatikannya dari kejauhan dan berharap semoga dia berhasil. Angin sepoi-sepoi meniup segalanya. Tempat ini cukup ramai, tapi sontak terasa sunyi ketika aku memerhatikan anak itu di sana. Kira-kira apa saja yang dia bicarakan di sana? Apa dia baik-baik saja?

           Sekelompok orang itu pergi, dengan salah satunya melambai pada anak itu. Ada apa? Remaja itu kembali, tapi kedua tangannya masih memegang barang yang didagangkannya. Jadi, begitu, ya? Belum laku. Wajah anak itu kusut, layu, dan untuk ke sekian kalinya dia berkata, "Ayo pulang."

      "Oh, ayolah. Mengapa kamu mudah sekali putus asa? Kalau kamu seperti itu, uangmu tidak akan kembali." begitu ujarku agar dia berubah pikiran.

      "Tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka saja di sini." ucapnya.

           Kuhela napasku, "Dengar, ya. Kalau seperti ini terus. Kamu akan ada dalam taraf kemiskiman selamanya. Karena tidak ada keinginanmu untuk maju, Caramel. Sampai kapan kamu ingin menjadi miskin kultural?"

      "Mayat hidup, dengarlah." tiba-tiba aura yang ke luar dari anak ini berubah menjadi gelap, "Aku tidak tahu maksudmu itu, apa itu kemiskinan kultur atau apalah itu. Tapi, yang jelas, aku tidak hidup di sini. Aku tidak tinggal di sini. Aku tinggal di desa itu. Mungkin bila aku hidup di sini, uang memanglah segalanya. Tapi, mari kuulangi lagi bahwa aku tinggal di desa itu. Di sana, tidak ada siapa-siapa. Lihatlah aku, buktinya, aku masih bisa hidup tanpa uang hingga sekarang."

      "Iya, kamu hidup. Tapi, kamu kurus kering." ujarku.

      "Kamu mengataiku kurus kering tanpa bercermin dulu? Kamu juga kurus tahu!" ucapnya tidak mau kalah.

      "Iya, tapi aku,'kan memang sudah mati." aku menjawabnya dengan mengecilkan volume suara agar tidak ada orang selain kami yang mendengar rahasia ini. "Caramel, aku ini sudah mati, seperti katamu. Jadi, jangan samakan aku denganmu. Karena kita ini sudah berbeda. Aku memang sudah mati. Tapi, kamu itu masih hidup. Masih ada kesempatan bagimu untuk setidaknya hidup lebih enak."

           Orang-orang di sekitar terlihat begitu bahagia. Mereka saling berbincang ringan, tertawa, bercanda bersama. Banyak anak kecil yang berlarian mengejar kawannya. Suasananya sangat berbeda dengan situasiku dan anak ini sekarang. Pembicaraan kami jadi semakin berat saja. Semakin serius.

           Anak itu tidak berucap untuk beberapa saat. Pandangannya sempat tersita ke berbagai arah. Napasnya berat, mulutnya seperti ingin mengatakan banyak hal, tapi ditahannya, "Baiklah," akhirnya dia berkata. Tapi, aku yakin, dia hanya mengeluarkan sedikit bahkan mungkin secuil saja yang ingin dia bicarakan, "Katakan padaku, untuk apa aku butuh uang? Apakah ada keuntungannya untukku yang biasa tinggal di desa itu tanpa apa pun?" dia menatap mataku lekat-lekat, "Bila jawabanmu dapat membuka caraku berpikir, mungkin aku akan berubah pikiran. Maka, beritahukanlah itu padaku."

           Untuk beberapa saat aku tidak bergeming. Aku berpikir, otakku terus bepikir, perihal jawaban apa yang sekiranya paling sesuai untuk menjawab pertanyaannya? Anak itu telah memberiku kesempatan untuk mengubah caranya berpikir. Jawabanku akan menentukan apa yang akan dia lakukan. Aku tidak boleh menyia-nyiakan ini. Aku tidak boleh keliru. Di dalam hati, aku memohon, semoga jawabanku ini benar. Setidaknya dapat membuka hatinya.

      "Mengapa kamu diam saja? Tidak tahu, ya?" ucapnya.

      "Ah, tidak. Tentu saja aku tahu." ucapku sehabis membuyarkan lamunan, "Kamu butuh uang, itu karena jika kamu memilikinya, kamu dapat mengubah desamu yang mati itu."

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang