Chapter 25

83 6 17
                                    

           Kali ini aku menggenggam tangan kecilnya, mengikuti langkah pendek anak ini dengan perlahan karena aku yakin bila aku melangkah seperti biasa aku justru akan mendahuluinya. Entah mengapa, anak ini terlihat lebih ceria. Kira-kira, sudah pukul berapa, ya? Bukannya anak kecil seharusnya sudah terlelap di waktu seperti ini.

          Tapi, walau begitu, anak ini masih terlihat bersemangat. Dia bersenandung sembari menuntunku. Dia memiliki suara yang lembut. Indah, jauh lebih indah dari suara burung yang berkicau merdu. Ketika mendengarnya, jarak langkah yang sedari tadi kujaga agar tidak melampauinya akhirnya terlepas dari kekang yang mengurungnya.

           Aku melangkah, dan benar, akhirnya aku mendahuluinya. Sekarang, akulah yang menuntun jalan karena kedua kakiku tengah berjalan sendiri membawa tubuhku bergerak. Aku tidak tahu apa yang sekarang ini kupikirkan. Tapi, aku merasa nyaman. Ada secercah nostalgia yang kurasakan. Apa semua karena kidung yang dia lantunkan?

           Anak itu tidak berhenti bernyanyi walau sekarang aku yang memimpin perjalanan. Dia juga tidak bertanya akan dibawa ke mana dia olehku. Anak yang tadinya menutup pintu hatinya rapat-rapat akhirnya membuka lebar pintu itu padaku. Sudah tidak ada rasa takut dan cemas di hati kecilnya.

           Lampu di pinggir jalan, rumah-rumah yang hanya lampu depannya saja yang dinyalakan, sebuah kotak pos di depannya. Sampai, sudah sampai. Aku melihat sebuah rumah di mana langkah kakiku seketika berhenti di depannya. Rumah yang tidak begitu besar namun tampak nyaman, dengan taman di depan berhias bunga indah dan pohon yang rindang. Aku sampai.

      "Sudah sampai, ya?" aku bertanya sebenarnya aku sedang tidak bertanya pada siapa pun, melainkan diriku seorang.

      "Iya, sudah sampai. Ini rumahku, manusia super." anak itu menekan bel rumahnya.

           Sejenak, aku tidak bergeming. Pintu rumah itu terbuka perlahan, ada orang yang ke luar dari sana. Seorang wanita yang elok rupanya, Poni sedahi dan rambut belakangnya diikat satu. Dia mengenakan baju tidur lengan panjang. Apa ini? Kenapa ini?

           Bagai ada yang menjerat, seluruh tubuhku kaku, tidak sanggup bergerak, tidak bergeming, tubuhku beku di sana saat melihat wanita itu. Pikiranku ke mana-mana, lembaran-lembaran memori muncul secara acak dan otakku berusaha menyusunnya. Semuanya, aku sudah ingat semuanya. Air mataku menetes.

      "Kamu." kata wanita itu.

             Aku tidak berani menjawabnya, tidak berani menanggapi perkataan yang dilontarkan wanita itu. Aku takut, malu, merasa bersalah, kepalaku hanya tertunduk, aku tidak kuasa untuk menunjukkan rupaku yang buruk ini padanya. Bukan hanya buruk, aku ini makhluk yang busuk.

      "Abel?" tanyanya lagi dan wanita itu berjalan semakin dekat denganku.

           Tidak, jangan melangkah lagi, jangan lebih dekat dari itu. Jangan melihatku. Mulutku terkunci rapat, Kakiku terasa seratus kali lebih berat dari biasanya tapi akhirnya aku bisa juga berlari. Ya, aku lari dari sana, meninggalkan mereka berdua. Untuk ke sekian kalinya aku lari dari semuanya, dari segala kenyataan yang menakutkanku. Aku sangat malu.

                                 ***

          Pemuda itu ke luar dari dalam gedung. Langkahnya sangat pelan bagaikan sudah tidak memiliki harapan sambil membawa buku yang didapatnya dari dalam. Air matanya mengalir di sana, menetes, dan kembali ke bumi. Dia berteriak di sana, menangis.

           Dia menangis dan terus menangis di sana karena sesungguhnya dia memohon agar ditolong. Namun, di saat yang bersamaan, dia juga sadar, tidak ada orang lain yang dapat menolongnya.

Caramel and Apple CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang