1. Prolog

13.4K 599 61
                                    

AN# duh republish lagi.🙄🙄

Jangan diketawain ya Dears. Setelah 4 tahun cerita ini nampang di wattpad, saya baca lagi kok rasanya mau nyebur ke laut gitu yaa. Kayak luguu banget tulisan ini dulu. Lucu tur wagu kalau orang Jawa bilang.

Ternyata manusia memang berkembang. Bagaimanapun saya mensyukuri setiap proses.

Saya tidak menjanjikan banyak perubahan dari cerita ini. Bukan revisis habis habisan yang membuat alurnya berganti. karena lemah dan salah di masa lalu adalah sebuah pembelajaran. Tapi pastinya bakal ada perbaikan.

Silakan mengikuti kembali bagi yang berminat dan selamat datang bagi pembaca baru. Vote dan komen kalian selalu saya tunggu ❤️❤️❤️❤️#

****

Wanhibar mencatat pesanan keempat pelanggannya yang baru dengan cermat namun sedikit tergesa-gesa. Ia mendengar tawa-tawa bernada ejekan dari meja di seberang ruangan, di mana anaknya sedang menraktir senior-senior dari dojo KINNARU, tempat mereka biasa berlatih judo.

"Sok kuli banget potongannya!" salah seorang yang paling besar badannya berbisik cukup keras, disusul kekehan memuakkan yang mendengus dari hidungnya.

"Tentara beneran bukan ntu? Gali kampung aja kali..." salah seorang lagi menambahkan dengan sumbang dan sangat tidak menyenangkan.

Wanhibar mengerut kening ketika gelisah mulai merambati batang punggungnya. Setahunya orang-orang dari club judo seharusnya memiliki disiplin dan sikap rendah hati serta menghormati orang lain, karena olah raga yang belum lama diikuti anaknya itu berasal dari negara dengan kebiasaan berdisiplin yang tinggi. Tapi entah apa yang dilakukan anaknya dan orang-orang itu di tempat latihan mereka. Mungkin cuma adu panco dan ego. Tingkah mereka lebih mirip preman yang mengganggu pengguna jalan di tikungan- tikungan.

Kelompok yang menjadi obyek cemoohan mereka; yang sedang dilayani Wanhibar saat itu adalah empat pria muda yang berperangai lebih tenang dan tampaknya juga beberapa tahun lebih tua dari kelompok anaknya. Mereka memiliki potongan rambut yang cepak nyaris sama, dengan ukuran tubuh dan tinggi senada, dan gaya berpakaian yang serupa. Dari Luminox dan Casio militer yang mereka kenakan sampai cara mereka menggulung lengan jaket, seharusnya sudah bisa mengabarkan dari kelompok mana pemuda-pemuda ini berasal. Walaupun berpenampilan kasual, tapi kesan elit dan terpelajar menjejak jelas dari pembawaan.

Tapi entah Noe dan teman-temannya itu yang bodoh atau mereka memang bebal. Seolah mereka tidak rela kalau ada kelompok lain yang tampak lebih baik dari mereka.

Salah satu dari empat sekawan yang berpotongan cepak itu melirik dengan tidak senang ke meja seberang, di mana Noe dan rekan-rekannya berada. Tetapi temannya mengetuk meja, "Wan.... nggak usah direspon. Anggap aja nggak ada. "

Laki-laki tua penjual mie itu ingin minta maaf atas perilaku mereka, tetapi pertimbangan bahwa hal itu mungkin malah akan membuat pihak teman-teman anaknya makin tersinggung, membuat ia urung dan berlalu. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, semoga kesabaran para pria gagah ini lebih tinggi dari tubuh-tubuh jangkung mereka.

"Noe...! Bantu aku layani mereka! Ngobrol saja kerjamu!"

Anak tunggalnya berdiri dari kelompoknya dengan wajah bersungut-sungut,

"Kerja dulu, Noe! Biar cepet kaya!" pria ke tiga berseru diikuti tawa terbahak teman-temannya yang bertubuh besar.

Di dapur restauran mungil mereka, istrinya sedang memanaskan panci kuah dan menerima pesanan darinya dengan senyum.

"Bikinin empat, Bu. Semua pakai ekstra daging." Wanhibar berujar lelah; bukan oleh pekerjaan dan ramainya warung malam itu, tapi oleh kekhawatiran pada dua kubu yang bersitegang di depan sana.

My  Lovely Lieutenant's  LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang