#weekend with Sarah and Irfan... yay!! Semoga hari kalian menjadi penuh semangat dan senyuman. Jangan lupa vote dan comment yaa...!!#
~*~
Bukankah saat ini yang selalu dinantikannya? Memasuki ruang sidang sebagai dirinya sendiri dan berhadapan kembali dengan Kak Irfan. Melihat matanya yang cemerlang menatapnya sekali lagi. Mungkin mengobati sedikit kerinduan. Tetapi ternyata ia tak pernah siap.
Sarah menatap petugas yang masih berdiri di celah pintu setelah memanggil namanya. Memandang di antara mereka bertiga siapa yang bernama Sarah Ismawati. Kika dan Rianti melepaskan genggaman mereka dari tangannya, dan mengangguk memberi kekuatan, sebelum mengantarnya ke pintu.
"Kami akan di sini menunggumu. Setelah kau bersaksi, kami akan diijinkan masuk menemanimu... Oke, Sarah? Kau akan baik-baik saja, kan?" Kika berujar.
Ia tak menjawab, tak mengangguk. Akhirnya setelah sekian lama. Ia bisa melihat Kak Irfan lagi.
Langkahnya sunyi melewati koridor yang terbentuk di antara deret-deret kursi. Di jajaran tempat duduk agak belakang, Haris dan Pramudya mengangguk padanya dan memberi isyarat kepalan tangan untuk mendukungnya. Ia juga melihat ibu asramanya tersenyum kecil di jajaran bangku itu, mencoba memberikan kepercayaan diri. Lalu di ujung sisi kanannya, ia melihat pria itu, dengan wajah keruh yang sama, menunduk di samping pengacaranya.
Petugas menutup pintu kembali, suara debamnya yang tidak keras membuat pria itu sedikit berpaling, memandangnya dengan sebuah lirikan singkat sebelum kembali meluruskan pandangan.
Hanya itu sajakah? Kau tak merindukanku? Bukankah kau sangat ingin melihatku?
Sarah memasuki bilik saksi dengan kekecewaan yang serasa mengerutkan isi dada. Ia tahu Irfan terluka, tetapi tidak menyangka pria itu masih bisa melukainya dengan cara seperti ini.
Petugas pengadilan mengambil sumpahnya dan menghadapkannya dengan laki-laki itu; orang yang telah membuat segalanya menjadi kacau bagi mereka berdua. Arubumi.
"Nona Sarah... Anda dalam keadaan baik untuk bersaksi hari ini, Saudari Sarah Ismawati?"
"Ya..."
"Anda mengenali terdakwa yang duduk di sana?"
"Letnan Dokter Irfan Budioko... Kakak kecil saya... teman Kak Himawan... suami saya..." Sarah melirik Irfan. Air matanya menggantung di tepian pelupuk dan suaranya bergetar di dalam microfon, tetapi Irfan masih belum mengangkat pandangannya.
Arubumi bersandar dengan sebelah lengan di sudut biliknya, mendenguskan sebuah senyum miring yang samar di ujung bibir.
"Apa dia yang mengatakan itu? Bahwa dia suami Anda?"
Seketika lirikan sayu Sarah berubah menjadi tusukan tajam pada Arubumi, "Bukan... Kak Pram... Letnan Pramudya Hafidz yang pertama mengatakannya... dan juga kakak saya..."
"Apa yang kakak Anda katakan tepatnya? Kata-perkata, kalau Anda masih ingat?"
"Inilah pilihan terbaik dariku... bukalah harimu untuknya, Sarah,,, aku harap kalian bahagia..." air mata Sarah jatuh ke pangkuannya saat tatapannya kembali kepada Irfan. Tidak bisakah pria itu sedikit memberinya kekuatan? Agar ia tidak menangis?
"Hmmh... bukan kata-kata seperti; 'Aku menikahkanmu dengannya' atau 'dia sekarang suamimu.' Seperti itu?.... Tidakkah Anda pikir bahwa apa yang kakak Anda katakan itu barulah sebuah rencana, Saudari Saksi?"
"Keberatan Yang Mulia! Oditur hanya mengira-ira! Seharusnya dia mempertimbangkan kesaksian sebelumnya!"
"Pembela benar, Oditur... kau membuat dirimu tampak konyol!" Hakim Ramlan melotot memberi isyarat padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...