"Kalau begitu kau bawa saja kartuku. Jaga-jaga, kalau kau ingin sesuatu."
"Tidak! Sungguh! Aku masih ada uang..."
Irfan tidak pernah jadi mengeluarkan dompetnya dari saku, atau mengeluarkan kartu kreditnya. Karena Sarah menolak. Dan caranya menolak,... mencegah ia membuka dompetnya,... bahkan dengan sebuah kecupan...
Tiba pada sebuah kesimpulan, Irfan memejamkan mata dan mendesah; Sarah yang telah menggunakan kartu ATMnya. Dua puluh juta? Untuk apa? Bagaimana ia akan menangani masalah ini sekarang?
Dokter itu termangu di kursi, mengetuk-ngetuk pelan dagunya dengan kepalan tangan. Dua puluh juta bukan uang yang besar. Ia bisa saja melupakannya dan pura-pura tidak tahu. Itu mudah, tetapi bukan cara yang benar. Kalau saja Sarah menggunakan kartu ATM-nya yang lain, mungkin ia tidak akan pernah tahu sampai berbulan-bulan kemudian. Irfan tidak terlalu perduli dengan uang, ia bahkan sudah lama tidak tahu berapa jumlah simpanannya.
Sebenarnya Sarah menggunakan uang itu untuk apa? Kenapa tidak bilang saja padanya?
Seolah tanpa sadar, kakinya bergerak ke kamar Sarah. Ia masuk, mengabaikan batasan yang selama ini digariskan dengan tegas oleh gadis itu.
Irfan sedikit terkejut melihat kamar Sarah tidak serapi bayangannya. Bagaimanapun, pemuda itu bergerak membuka laci-laci meja rias, memeriksa kolongnya, memeriksa koper di bawah tempat tidur yang sudah dibongkar, tetapi masih penuh dengan baju. Ia juga meraba kolong tempat tidur, kayu di bawah pembaringan, permukaan lantainya. Sesuatu yang bisa menyimpan benda-benda kecil. Mungkin narkoba.
Sia-sia dengan usahanya di kolong itu, pencariannya berpindah ke sebuah lemari kaca es yang ternyata berisi sepatu. Matanya sempat terbeliak melihat betapa banyaknya sepatu Sarah; dari boot sampai sepatu pesta, dari yang tanpa hak sampai hak tinggi yang akan dikategorikan Irfan sebagai egrang, hampir selusin pasang sandal. Memangnya anak itu kakinya berapa?!
Irfan memeriksa bagian dalam setiap sepatu, juga laci di bawahnya tempat menyimpan lebih dari lima puluh gulungan kaus kaki berbagai model.
Ia semakin gelisah karena tidak menemukan apa yang dicurigainya. Kaus kaki ini adalah tempat yang ideal untuk menyimpan barang kecil yang berbahaya.Tetapi melihat jumlahnya....
Apakah ia salah? Apakah ia telah mengambil kesimpulan yang keliru?
"Apa yang kau lakukan di sini, Kak?!"
Irfan tersentak dan berpaling melihat Sarah berdiri di pintu dengan wajah merah padam dan spatula ditangannya.
"Apa yang kau lakukan di kamarku?!" Sarah menyerbu maju. Tetapi Irfan telah lebih dulu berdiri untuk menangkis pukulan spatula yang menyasar kepalanya. Ia mencekal tangan Sarah dan menahannya tetap di bawah, jauh lebih kuat dari pada yang diniatkannya. Saat hendak membela diri, ia jadi ingat alasannya berada di kamar ini.
"Apa kau membeli narkoba?!" pertanyaannya tegas, tetapi tidak bisa menyembunyikan nada ragu dalam suaranya. Jika sampai salah tuduh, Sarah mungkin akan menghilang selamanya dari hidupnya.
"Apa?!"
"Apa kau menggunakan ATM-ku pagi ini?" Irfan mengayunkan dompetnya di depan wajah Sarah. Melihat perubahan ekspresi gadis itu walau hanya sedetik, membuatnya tahu bahwa dugaannya benar.
"Kau bicara apa?!" Sarah berontak menarik tangannya, tetapi Irfan tidak membiarkannya terlepas. "Lihat lagi dompetmu, apakah kartumu hilang? Apa kau menuduhku mencuri?!"
"Nah, itu kau mengaku...." Irfan melepaskan tangan Sarah, terduduk lunglai di tempat tidur. Sementara gadis itu hanya berdiri terpaku bingung.
"Apa?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Lieutenant's Love
Romance#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu sebelumnya kecuali dari selembar foto: remaja cerdas 16 tahun, pendekar wushu keras kepala yang jatuh...