(15)

16.2K 1.8K 112
                                    

"Setelah tahu ini semua, kamu gak akan berubah pikirankan?" Tanya Mas Juna penuh harap.

"Berubah pikiran?" Tanya gue balik yang di angguki Mas Juna gak yakin.

"Kenapa Aya harus berubah pikiran? Aya udah tahu dari awal masalah Mas yang bukan putra kandung keluarga Alindra terus masalahnya dimana? Aya harus berubah pikiran kenapa?"

Kenapa gue harus berubah pikiran? Apa cuma karena masalah Mas Juna bukan putra kandung? Ayolah, gue mulai bosen kalau harus ngungkit masalah ini terus, lagian gue sama sekali gak mempermasalahkan apapun dari awal.

"Masalah Adik Mas, akan Mas jelaskan kalau dia pulang nanti." Apa ini bentuk ketakutan Mas Juna juga?

"Mas! Boleh Aya nanya? Apa Mas nanya kaya gini karena Mas takut Aya berubah pikiran setelah ketemu Adik Mas nanti?"

Masalah putra kandungnya tahu atau enggak, ya itu gak ada sangkut pautnya juga sama gue, kalau sampai anaknya tahu alasan gue menikah sama Mas Juna nanti dan andai kata putra kandungnya keberatan, ya salahin aja Bapaknya, kan Bapaknya yang mikir gue gak layak untuk putranya?

"Kalau itu yang Mas takutkan rasanya gak perlu, kenapa? Karena setelah Aya milih, Aya gak akan merubah pilihan Aya."

"Tapi alasan Mas menikahi kamu_

"Demi Mama? Aya gak keberatan, kalau dengan menikahi Aya bisa membantu pengobatan Mama, bukannya itu hal baik dan bonusnya untuk Mas, Mas punya istri pengertian kaya Aya." Gue tersenyum dan mengedipkan mata sekali menatap Mas Juna.

"Ay! Apa kamu selalu kaya gini?" Selalu kaya gini? Memang gue kenapa?

"Selalu begini gimana? Ada yang salah?" Tanya gue balik, ada yang anehkah dengan gue?

"Bukan apa-apa tapi mungkin ucapan kamu benar, kamu seperti bonus dalam hidup Mas." Mas Juna menatap gue sekilas dan keluar dari kamar gitu aja.

"Mas mau kemana?" Tanya gue bingung.

"Bukannya kita keluar belanja karena kamu kelaparan? Ayo turun."

.
.
.

"Mas! Kena_

Dan gue menggantungkan kalimat gue begitu mendapati Mas Juna berbicara cukup serius dengan seseorang lewat panggilannya.

"Apa kamu beneran gak tahu kalau Mama sakit? Jangan bicara omong kosong kalau cuma mau meyakinkan Mas dengan alasan gak berguna kamu." Ucap Mas Juna keseberang.

Mas? Apa itu mantannya? Tapi mantannya gak mungkin manggil Mama jugakan? Apa Adiknya? Tapi kenapa keliatan marah begitu? Berantemkah? Lewat telfon?

"Kirim berkasnya ke Mas lebih dulu kalau kamu mau selamat dari amukan Papa, Mas perbaiki dan kejar sidang kamu dalam minggu ini juga." Dan Mas Juna memutuskan panggilannya.

"Mas! Ayo tu_

Dan lagi-lagi gue hanya bisa menggantungkan kalimat gue begitu Mas Juna malah beralih fokus dengan segala berkas-berkasnya.

Ahhh dicuekin lagi gue, apa gue biarin aja Mas Juna nyelesain kerjaannya? Toh gue juga udah telat gini, gak mau terlalu berlarut, gue menutup pintu kamar Mas Juna balik dan turun lebih dulu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ahhh dicuekin lagi gue, apa gue biarin aja Mas Juna nyelesain kerjaannya? Toh gue juga udah telat gini, gak mau terlalu berlarut, gue menutup pintu kamar Mas Juna balik dan turun lebih dulu.

Dibawah, gue menyiapkan sarapan ala kadar sambilan nunggu Mas Juna turun, dan tepat disaat gue selesai dengan dua gelas susu ditengan gue, Mas Juna turun dengan pakaian udah ganti.

"Kamu kuliah hari apa aja Ay?" Tanya Mas Juna di sela suapannya, pagi ini kita berdua berakhir cuma sarapan pake roti sama susu doang, gue kesiangan dan sayangnya lagi, Mas Juna terlalu canggung buat ngebangunin gue.

"Cuma libur selasa, sabtu sama minggu, kenapa Mas?" Apa Mas Juna butuh jadwal kuliah gue juga?

"Mas cuma mau tahu, kenapa? Kamu keberatan?" Tanya Mas Juna kikuk, lah kenapa harus keberatan?

"Kenapa harus? Kalau Mas mau ngebangunin Aya setiap hari Aya juga gak keberatan, ketimbang telat beginikan?" Rasanya gak ada yang aneh dengan sikap gue sekarang.

Malah menurut gue, sikap Mas Juna yang aneh, Mas Juna masih terlihat sangat canggung dan banyak segannya sama gue, kalau dipikir ulang, harusnya yang ngerasain itu semua gue sendiri, gue yang canggung, gue yang segan, kan yang punya rumah Mas Juna, ini kenapa malah kebalik?

"Mas! Mas dengerin Aya kan? Kenapa Mas malah natap Aya begitu?" Tanya gue melambaikan tangan gue di depan wajah Mas Juna, lah Mas Juna kenapa juga pake bengong natap gue.

"Mas Juna!" Gue nepuk pipinya sekali.

"Kenapa?" Kaget Mas Juna masih menatap canggung gue.

"Mas dengerin Aya gak sih? Mas itu yang kenapa? Mas masih canggung sama Aya? Mau Aya pindah balik ke rumah Ayah sama Bunda aja? Ketimbang Mas bingung begini." Tawar gue.

Mau sampai kapan Mas Juna bersikap kaya gini sama gue? Kalau kelamaan dibiarin, takutnya bukan cuma Mas Juna tar yang ada gue juga ketularan, gue ikutan canggung sama segan kalau mau ngapa-ngapain.

"Kamu serius ngomong begitu sama Mas sekarang?" Tanya Mas Juna terlihat gak yakin.

"Apa Aya keliatan becanda? Aya serius Mas." Ulang gue, lagian mau tinggal disini atau di rumah Ayah sama Bunda juga gak ada bedanya.

"Kamu mau orang lain mikir apa? Baru beberapa hari pindah dan tiba-tiba kamu mau balik ke rumah Ayah sama Bunda? Kamu mau orang-orang mikir kita berantem?" Gue malah mengerutkan kening gue dengan ucapan Mas Juna.

"Kenapa Mas terus mikirin pendapat orang lain? Yang ngejalanin kan kita? Kita gak berantem, Aya barusan izin sama Mas kan sebelum pindah? Aya nanya pendapat Mas dulu, kenapa jadi bawa-bawa orang mau mikir apa?" Tanya gue balik gak habis pikir.

Pemikiran Mas Juna yang selalu kaya gini juga perlu di perbaharui, kudu di unduh ulang aplikasi kerja otaknya, kebanyakan di tekan sama Papanya makanya berarti bego-bego kecil kegini.

"Apa kamu sama sekali gak canggung berdua sama Mas?" Yah ini lagi.

"Mas! Ini terkahir kalinya Aya ngasih tahu Mas, Aya itu istri Mas dan Mas itu suami Aya, mau sampai kapan Mas mau bersikap canggung kaya gini? Sebulan? Setahun? Atau seumur hidup?"

"Kamu berencana bareng Mas seumur hidup kamu?" Ini pertanyaan atau apaan?

"Memang Mas gak berencana ngabisin sisa hidup Mas sama Aya? Mas berencana nikah lagi?" Tanya gue emosi, wah kebangetan, baru jalan seminggu tapi Mas Juna udah punya pemikiran nambah istri.

"Kamu mikir apaan Ay! Satu aja udah cukup bikin shock setiap hari." Mas Juna tersenyum sekilas dan kembali menyuap makanannya.

"Kirain! Awas aja sampai berani ngelirik perempuan lain." Awas aja, apalagi kalau berani ketemu bahkan deket-deket sama mantannya itu, tunggu aja.

"Oya Mas! Tar pulang kuliah, Aya keluar sama Mas Ijaz sebentar gak papa kan?" Tanya gue yang di angguki Mas Juna.

"Memang kalian mau kemana?" Gue tersenyum aneh sekarang, mau gue kasih tahu tapi Mas Ijaz bilang rahasia, gak gue kasih tahu tar malah gue yang punya rahasia sama Mas Juna.

"Pokoknya Aya gak akan selingkuh, Mas gak perlu khawatir." Jawab gue cengengesan.

"Mas juga mungkin pulang telat, kalau kamu pulang sama Ijaz lebih awal, kamu ikut Ijaz ke rumah Ayah sama Bunda juga gak papa." Ucap Mas Juna menyelesaikan sarapannya.

"Aya boleh balik pindah ke rumah Ayah sama Bunda?" Tanya gue memastikan.

"Aish, Ay! Maksud Mas tar Mas nyusul kesana, Mas jemput kamu kesana bukan nyuruh kamu balik tinggal disana." Mas Juna keliatan nahan nafas natap gue.

"Oh kirain! Yaudah, kita berangkat sekarang?" Gue bangkit dari duduk gue lebih dulu.

"Mas tunggu didepan." Gue mengangguk pelan.

"Oya Mas, Mas gak papa ke kantor hari ini? Papa gak akan_

"Jangan khawatir, cukup fokus dengan kuliah kamu." Potong Mas Juna seolah tahu maksud ucapan gue.

Starry Night (END)Where stories live. Discover now