(16)

15.7K 1.7K 64
                                    

"Jadi gimana ni? Mas beneran udah yakin? Jangan plin-plan kaya kemarin lagi, malu-maluin Aya tahu gak." Protes gue masih nunggu kepastian Mas Ijaz.

Mas Ijaz kalau ngerencanain sesuatu yang menyangkut perasaannya ribet, gak ngikutin saran Ayah sedikitpun, sebelum ketemu semua okey, pas orangnya udah didepan mata, ambyar semua.

"Adek yakin kan kalau ini bakalan berhasil?" Lah kenapa gue?

"Berhasil atau enggaknya itu semua tergantung niat Mas, kalau yakin Aya jamin semua sesuai rencana asal Mas gak kalut duluan aja." Gue menyilangkan kedua tangan gue nunggu reaksi Mas Ijaz.

Mau mikir berapa lama lagi? Balikan atau enggak aja ribet, kalau Mas Ijaz kelamaan mikirin pertimbangan, Kia keburu di babat orang lain, gue gak lupa sama mahasiswa hukum yang ngejar-ngejar Kia beberapa bulan terakhir.

"Lama banget Mas, yakin atau enggak? Kalau gak yakin mending gak usah, ngapain Aya ngajak Kia dateng kemari kalau Mas aja masih gak jelas begini?" Heran gue.

Lagian yang jadi pertimbangan besar Mas Ijaz apaan lagi? Padahal gue jelas tahu kalau mereka berdua itu masih saling suka, gengsinya aja yang dipelihara makanya mau balikan aja susah.

"Gak bisa hari ini kayanya Dek, Mas belum siap." Yah, udah ketebak mah bakalan kaya gini ujung-ujungnya, plin-plan gak jelas.

"Mas ini bener-bener, gayanya doang suka ngasih konseling dadakan buat Aya tapi pas masalahnya nimpa kehidupan sendiri, serabutannya minta ampun, ayo pulang."

.
.
.

"Assalamualaikum." Ucap gue membuka pintu rumah, gue masuk yang diikuti Mas Ijaz dari belakang.

"Waalaikumsalam, loh Dek, sama siapa?" Tanya Bunda begitu mendapati gue ada dirumah tapi kalau pulang bareng siapa gak perlu gue jawab kayanya, ngeliat Mas Ijaz masuk setelah gue, Bunda udah tahu jawabannya.

"Ijaz langsung naik Nda." Pamit Mas Ijaz setelah nyalim.

"Mas Ijaz kenapa? Katanya cuti gak masuk kantor sama Ayah hari ini, kirain ada urusan penting sampai perlu cuti." Tanya Bunda ikut mendudukkan tubuhnya disamping gue.

"Urusan hati Nda, kurang penting apa coba?" Jawab gue tersenyum sekilas.

"Kia gak mau di ajak balikan?" Tanya Bunda lagi, gue menggeleng pelan, bukan Kia gak mau di ajak balikan tapi Mas Ijaz aja banyak pertimbangan.

"Kalau di ajak balikan sama Mas Ijaz kecil kemungkinannya kalau bakalan di tolak Nda." Jelas gue.

"Terus?" Bunda juga keliatan bingung.

"Gengsi tu orang berdua aja ketinggian." Gue menyandarkan tubuh gue disofa lelah, kirain bakalan bawa pulang kabar baik, lah ini boro-boro kabar baik, muka Mas Ijaz suram.

"Adek sendiri kenapa kemari?" Dan pertanyaan Bunda kali ini malah membuat gue mikir, perasaan ada yang aneh sama pertanyaannya.

"Bunda nanyanya kenapa begitu? Memang Aya gak boleh kemari? Ini masih rumah keluarga Dzakiandra kan Nda? Nama belakang Aya masih itukan?" Tanya gue memastikan.

"Hush, sampai kapanpun rumah ini memang atas nama kamu, yang Bunda tanya kenapa kemari? Udah izin sama Juna?" Ohhhh.

"Mas Juna kayanya pulang larut jadi dari pada sendirian, Mas Juna nyuruh kemari aja, tar pulang kantor Mas Juna jemput." Jelas gue yang malah dihadiahi senyuman penuh arti Bunda, ini Bunda mikir apalagi? Gak lagi aneh-anehkan?

"Kenapa Bunda jadi natap Aya begitu?" Gue mengerutkan kening gue menatap balik Bunda.

"Apa pernikahan kalian berjalan baik? Gak ada masalahkan?" Dan terjawab sudah, pertanyaan Bunda juga kadang-kadang bikin shock.

"Sejauh ini masih bisa Aya tahan, Bunda jangan khawatir, Aya sama Mas Juna baik, Bunda jangan terus kepikiran, kejadian Ayah sama Bunda dulu, Insyaallah gak akan keulang di Aya sama Mas Juna." Jawab gue sesangat mengerti ketakutan Bunda.

Semenjak Ayah bicara masalah perjodohan gue, Bunda adalah satu-satunya orang yang menolak tawaran Ayah saat itu juga, Bunda terlalu takut kalau apa yang Bunda sama Ayah rasaian dulu, gue akan mengalami hal yang sama karena masalah pernikahan perjodohan juga.

"Aya udah ngeliat tampang suami Aya sebelum nikah malah dan sekarang keadaan Aya sama Mas Juna juga jadi lebih baik, Aya berusaha keras mendekati Mas Juna seperti yang Bunda mau, Bunda harus khawatir kenapa lagi?" Gue tersenyum menenangkan.

Bukan cuma gue, Bunda juga merasakan hal yang sama ketika pertama kali melihat mata Mas Juna, "Juna kesepian." Itu adalah ucapan Bunda ketika Mas Juna pertama kali menemuinya, gue gak akan lupa.

Dan Bunda juga alasannya kenapa gue bisa berakhir datang menemui Mas Juna ke rumahnya lebih dulu, Bunda takut gue gak akan punya kesempatan ngeliat tampang suami gue karena kesibukan kami berdua.

Awalnya gue protes, masa iya gue yang nemuin duluan tapi setelah mendapatkan pencerahan dan takut tar ucapan Bunda jadi kenyataan, gue maksain diri minta di anter Mas Ijaz ke rumah calon mertua gue waktu itu.

"Yaudah, istirahat sana, bunda minta tolong Bi Nami siapin makan, tar kalau udah, Bunda panggil lagi, sama sekalian tolong liatin Mas Ijaz, bilangin jodoh gak akan kemana." Gue mengacungkan jempol cepat.

Gue bamgkit dan melangkahkan kaki gue menghitung anak tangga dengan perasaan sedikit gelisah, gue kepikiran Mas Juna, apa Papa gak akan semena-mena tar di kantor? Kalau tar Mas Juna di tampar lagi gimana?

Alasan lain kegelisahan gue adalah Bunda, apa gue perlu cerita ke keluarga gue masalah Mas Juna dan keluarganya? Apa keluarga gue udah ada yang tahu kalau Mas Juna bukan putra kandung keluarga Alindra?

Tapi kalau gue cerita maslaah sikap Papanya Mas Juna, keluarga gue pasti gak akan tinggal diam, mereka pasti minta gue sama Mas Juna pindah balik ke rumah detik itu juga, Mas Juna jelas gak akan setuju.

Gue gak mungkin mengabaikan permintaan Mas Juna, gue juga mau menjaga harga diri suami gue walaupun gue tahu pasti, keluarga gue gak akan berpikiran sejahat itu kalau tahu masalahnya itu apa.

'Tahan dulu Ay! Mas Juna bisa nyelesain masalahnya.' Cicit gue membatin.

.
.
.

"Mbak Aya, ada Mas Juna dibawah." Ucap Bi Nami yang gue iyakan, mengikat tinggi rambut gue, gue turun dan mendapati ruang keluarga gue lebih rame dari biasanya.

"Mas kapan dateng?" Tanya gue begitu ngambil posisi disamping Mas Ijaz.

"Belum lama." Jawab Mas Juna seadanya.

"Suami ada ngapain ngedusel dimari Dek? Gak malu diliatin Juna?" Protes Mas Ijaz mendorong gue untuk pindah.

"Ribet amat, duduk doang kali Mas, gak dosa juga deket-deket sama Mas." Gue berpindah duduk disamping Ayah.

"Mas Juna mau minum apa? Bibi bikinin." Tanya Bi Nami.

"Gak papa Bi, tar Aya yang ambilin sendiri, makasih ya." Tolak gue, tatapan Mas Juna ada yang aneh soalnya, apa ada masalah.

"Mas mau beberes dulu?" Tawar gue menatap Mas Juna khawatir.

"Mas gak papa, cuma ada yang mau Mas sampaikan untuk semuanya." Ucap Mas Juna yang jujur aja malah membuat gue semakin khawatir, Mas Juna mau bilang apa? Kenapa suasananya jadi berubah kaya gini, tatapan keluarga gue bahkan lebih mengkhawatirkan.

"Kenapa Jun? Ada masalah yang bisa Ayah sama Ijaz bantu?" Tanya Ayah masih berusaha menyunggingkan senyumannya.

"Gak Yah, cuma Juna rasa, Bunda sama Ijaz harus tahu, mereka harus tahu sebelum Juna melangkah terlalu jauh bareng Aya." Hah? Kenapa cuma untuk Bunda sama Mas Ijaz?

"Kamu yakin? Kita sudah pernah membicarakan ini." Lanjut Ayah seolah mengingatkan.

"Juna yakin Yah, kalau seandainya ada yang keberatan, Bunda sama Ijaz tahu lebih lebih awal adalah pilihan terbaik."

"Kenapa Jun? Ada masalah?" Kali ini Mas Ijaz yang nanya, Bunda masih setia mendengarkan.

"Gue bukan Putra kandung keluarga Alindra!"

Starry Night (END)Where stories live. Discover now