Prolog

668 47 3
                                    

Australia, 05.35 am

Bunyi suara detak jantung pada mesin monitor pendeteksi jantung (Elektrokardiogram) menggema di ruang kamar salah satu rumah sakit.

"Gue mohon Ri, lo harus bertahan!" ucap salah seorang pria yang mengepal tangan pria yang sedang berbaring di atas kasur rumah sakit yang sedang kesakitan.

Lelaki yang sedang berbaring di atas kasur tersebut tersenyum, "Lo memang sepupu gue yang paling baik."

Air mata mulai mengalir dari pelupuk mata lelaki yang mengepal lengan lelaki yang sedang berbaring di atas kasur tersebut.

"Nangis, udah kaya cewe lo!"

Lelaki yang mengepal lengan lelaki yang sedang berbaring di kasur rumah sakit tersebut sudah tidak bisa berkata apa-apa.

Lelaki yang berbaring di kasur tersebut menatap lelaki yang tengah menangis karenanya. "Ngga..." panggilnya.

Lelaki yang dipanggil itu menoleh dengan kedua mata yang sudah memerah.

"Makasih lo udah jadi sepupu gue sekaligus sahabat yang baik buat gue."

"Gue ngg--"

"Di dalam hp gue, ada catatan yang harus lo baca!"  

Tiba - tiba saja napas lelaki yang sedang berbicara itu terputus-putus.

"Ri... lo kenapa?"

Lelaki yang dipanggil Ri itu kemudian melanjutkan ucapannya dengan napas yang tidak beraturan. "Ngga, jangan sampai catatan itu dibaca sama orang selain lo!"

Lelaki yang air matanya sudah tumpah dengan tak terkontrol itu mendengar ucapan sepupunya dengan sangat detail. 

"G--gu--e mohon, lo harus la--kk--kuk--an beb--berapa hal yang ad--da di--"

Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Napas yang terengah-engah membuatnya sulit untuk melanjutkan ucapannya tersebut.

"Kalau lo nggak sanggup, udah jangan dilanjutkan!" 

Lelaki di atas kasur tersebut menggeleng. Ia kemudian mengatur napasnya untuk melanjutkan ucapannya. "Tolong... laku--in be--"

"Gue paham maksud lo. Gue akan lakuin beberapa hal yang ada dalam catatan lo itu." 

Lelaki itu tersenyum. 

Tiba - tiba saja napasnya kemudian kembali tidak beraturan. "Makasih Ngga... Waktu gue udah tiba."

"Nggak... lo pasti kuat. Gue yakin. Lo harus bertahan!"

"Ngga, jagain orang yang gue sayang..."

"Ri! lo bisa..."

Kemudian kepalan tangan dari mereka tiba - tiba saja mengendor. Kedua bola mata lelaki yang sedang berbaring di atas kasur menutp dengan sempurna. Suara detak jantung mulai tidak beraturan. Garis monitor menjadi garis lurus.

Lelaki itu panik. Ia pun langsung memanggil dokter dengan cepat.

"Nggak Ri, lo nggak boleh pergi!"

Lelaki itu menepuk pelan wajah lelaki yang berbaring di atas kasur rumah sakit tersebut.

"Tante Inggrid kenapa belom dateng?" tanya lelaki itu sembari meremas rambutnya.

Dokter pun kemudian datang dan langsung memeriksa kondisi lelaki yang berbaring di kasur tersebut.

Lelaki yang berdiri di samping kasur tersebut menunggu hasil dari dokter.

Dokter menghela napas. Ia kemudian mendatangi lelaki yang berdiri itu.

Lelaki itu tersenyum pahit. "I know he still alive, right?"

Dokter tersebut lagi - lagi menghela napas. "I am so sorry. He has--"

"Stop! I Know."

Lelaki tersebut menghampiri lelaki yang sedang berbaring itu. Ia menatap lelaki tersebut. Air matanya sudah habis untuk membanjiri pipi itu. Hatinya benar-benar hancur ketika melihat sepupunya sudah tak lagi tersenyum kepadanya. Sakit, namun ia hanya bisa terdiam sembari memandangi wajah pucat sepupunya itu.

Dengan berat hati, ia kemudian menyapukan wajah sepupunya itu dengan kedua telapak tangannya. "Innalillahi wa innailaihi raji'un." ucapnya.

----

"Karena pada dasarnya, setiap pertemuan selalu ada perpisahan."

                                                           - Unknown -

Azila dan RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang