xv. metode pdkt ala line ternyata manjur untuk keysha. bisa dicoba kalau cocok

10K 2.1K 244
                                    

Kuharap, Mama dan Papa tidak akan curiga dan percaya-percaya saja ketika aku berkata bahwa akhir-akhir ini aku harus lebih sering menelepon dengan telepon rumah karena partner-ku dalam mengerjakan tugas kelompok—aku mengatakan namanya Bima—sedang tidak bisa memegang ponsel dan satu-satunya cara yang bisa kami lakukan untuk berkomunikasi hanyalah telepon rumah.

Mama dan Papa memang hanya tersenyum penuh arti ketika aku mengatakan ini, dan aku curiga mereka sebenarnya tidak sepenuhnya percaya, tapi ah, sudahlah, yang penting mereka tidak menanya-nayaiku lagi, dan aku benar-benar berharap, Mama, Papa, dan Kak Karel tidak menguping kalau aku sedang menelepon Bima lewat telepon rumah.

Iya, sepertinya, belakangan ini aku sudah agak kecanduan menelepon Bima lewat telepon rumah. Awalnya, kupikir menelepon lewat telepon rumah itu memalukan dan terlalu berisiko. Belum lagi, rasanya mengobrol lewat telepon rumah itu terdengar sangat ketinggalan zaman. Tapi ternyata... tidak juga.

Setiap teleponan dengan Bima, aku memang merasa deg-degan dan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena efek mendengar suara Bima yang menjadi berat di telepon. Kedua, karena takut kepergok oleh anggota keluargaku sedang ngobrol sambil senyum-senyum tidak jelas di depan telepon rumah.

"Tapi asyik, kan?" tanya LINE sambil tersenyum lebar. Hari ini hari Sabtu, dan aku sedang bermalas-malasan di kamar sambil mengobrol dengan Instagram, Wattpad, dan LINE.

Aku mengangkat bahu, enggan mengakui bahwa LINE benar.

"Ah, ngaku aja lo!" sahut Instagram sambil ikut-ikutan tersenyum lebar. "Gue yakin, rasanya lebih seru! Emang jadul banget sih, kesannya. Tapi asyik banget! Apalagi kayak waktu itu... pas Bima telepon dan yang ngangkat bokap lo! Pasti si Bima panik banget tuh!"

Mau tidak mau, aku tertawa mengingat kejadian itu. "Gue juga pernah kok, pas telepon yang ngangkat ibunya Bima. Dia kira, gue tukang katering yang siangnya dia suruh telepon ke rumah!"

Aku pun tertawa lagi bersama Instagram, Wattpad, dan LINE. Kalau tahu menelepon lewat telepon rumah akan sebegini asyiknya, aku bingung, kenapa remaja-remaja zaman sekarang tidak melakukan metode ini untuk PDKT? Oke, memang sekali lagi, risikonya besar. Tapi toh, banyak keuntungannya. Salah satunya adalah, kalau chat di LINE pakai kuota, nah, kalau telepon rumah kan, yang bayar orangtua!

Oke, oke, aku tahu, memang sekarang, tidak semua orang menggunakan telepon rumah, aku cuma beruntung karena aku dan Bima kebetulan sama-sama masih menggunakan telepon rumah. Saat ini, rasanya aku ingin menyarankan kepada setiap remaja yang memiliki telepon rumah di rumahnya untuk PDKT ke gebetan dengan menggunakan metode ini (pastikan gebetannya punya telepon rumah juga, biar lebih asyik). Karena menelepon seperti ini... mendengar suara keluarga Bima dan terutama mendengar suara Bima yang berat itu terus-menerus, membuatku jadi merasa lebih dekat kepada Bima. Aku jadi tidak perlu lagi ketar-ketir menunggu adanya balasan chat yang masuk. (Oke, aku memang ketar-ketir menunggu dering telepon rumah dari kamar. Dan begitu telepon itu akhirnya berbunyi juga, aku langsung lari dengan kecepatan penuh dan mengangkat telepon. Setelah itu, aku bisa mengobrol sepuasnya tanpa ada perlu lama-lama menunggu balasan dari ucapanku.)

Selain telepon, LINE juga mulai menyuruhku menggunakan metode PDKT yang sebelumnya kukira sangat ketinggalan zaman... surat!

Beberapa hari yang lalu, aku meletakan surat di kolong meja Bima. Dan karena aku menyinggung hal-hal yang kami bicarakan di telepon, Bima langsung tahu bahwa si pengirim surat adalah aku walaupun aku tidak menyebutkan namaku. Dia pun membalas suratku dan meletakan suratnya di kolong mejaku.

Kini, setiap pagi, aku jadi deg-degan akan adanya surat baru di kolong mejaku. Surat-surat itu memang isinya tidak penting, paling-paling hanya hal-hal basa-basi seperti ucapan selamat pagi atau apalah, tapi tetap saja, aku menyimpan setiap surat yang pernah ditulis Bima untukku. Rasanya menyenangkan.

"Enggak nyesel, kan?" Suara LINE membuyarkan lamunanku. Aku pun menoleh dan mendapatinya sedang memasang tampang menang. Tanpa perlu jawaban dariku, sepertinya LINE sudah tahu bahwa aku merasa senang.

Akhirnya, aku pun mengangguk, membuat LINE dan Instagram bertos ria.

"Ah, lihat aja! Nanti lo juga bakal puas kok, sama ujian gue," kata Wattpad tidak mau kalah, "gue jamin ya, lo pasti bakal paling berterima kasih sama gue, karena gue udah ngusulin—"

"Udah deh, ini kan, harinya LINE, Weti," sela Instagram, menggoda Wattpad.

Wattpad langsung kesal. "Nama gue Wattpad! Bukan Weti! Apalagi We-pe! Dasar I-ge! Awas ya lo—"

"Udah, udah," kataku, membuatku kaget sendiri, karena selama ini, aku nyaris tidak pernah melerai mereka.

Ah, tapi, biar sajalah. Aku sedang sangat senang. Ternyata, metode PDKT ala LINE berjalan mulus. Aku tahu, memang tidak ada salahnya PDKT lewat LINE, tapi kurasa aku mulai setuju dengan LINE. Bahwa kadang, teman-temanku (dan aku juga) terlalu menggunakan LINE sebagai alat untuk PDKT sehingga keasyikan untuk PDKT itu sendiri berkurang.

Paling-paling, kita hanya merasa deg-degan menunggu balasan pesan gebetan di LINE dan bolak-balik mengecek ponsel. Tapi percaya padahku, rasa deg-degan itu tidak seberapa dengan mendengar suara gebetanmu lewat telepon ditambah takut ketahuan orangtua. Atau deg-degan karena telepon rumah belum berbunyi dan takut ketika berbunyi, yang mengangkat malah anggota keluargamu yang lain.

Yang jelas, ini membuatku menghilangkan semua gengsiku kepada Bima dan membuat kami semakin dekat. Dalam hati, aku berterima kasih kepada LINE. (Tentu saja aku tidak mengatakannya langsung. Dia bisa besar kepala nanti.)[]

2 Januari 2018

When Social Media Comes AliveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang