xvi. layar putih kosong itu menyeramkan

11.1K 2.3K 179
                                    

       

Aku tahu, setelah merasa puas dengan ide gila Instagram dan LINE, seharusnya aku tidak keberatan dengan ide gila Wattpad, tapi... aku tidak bisa. Bagaimana kalau aku menulis untuk mading dan orang-orang menganggap tulisanku jelek? Mereka pasti akan menertawakanku.

Menulis di mading jelas berbeda dengan menulis di Wattpad. Kalau di Wattpad, aku bisa dengan mudah membandingkan jumlah reads dengan jumlah votes dan comments. Kalau banyak yang membaca tapi sedikit yang memberi vote dan berkomentar, aku bisa mengambil kesimpulan kalau karyaku jelek. Kalau di mading kan, aku tidak bisa tahu siapa saja yang membaca tulisanku dan apa tanggapan orang-orang yang membaca tulisanku.

Sekarang, aku, Instagram, Wattpad, dan LINE sedang berkumpul di kamarku. Dan aku baru saja menjelaskan kekhawatiranku barusan kepada Wattpad, cewek berkacamata itu malah tertawa dan menjelaskan dengan berapi-api, "Justru itu yang gue mau lo pelajari, Key. Di Wattpad, jumlah reads, votes, dan comments itu enggak berarti apa-apa. Oke, vote dan comments memang bentuk apresiasi yang diberikan pembaca kalau mereka suka sama cerita yang dibaca, tapi bukan berarti, yang enggak ngasih votes dan comments itu enggak suka sama cerita lo.

"Sebenarnya ya, tujuan tombol vote dan comments itu baik, tapi kadang, orang jadiin itu indikator banget buat tulisannya. Ya, oke, emang enggak ada salahnya jadiin reads, votes, dan comments itu indikator tulisan, tapi itu bukan satu-satunya indikator tulisan lo.

"Nah, yang gue enggak suka itu, kalau ada yang pakai gue cuma buat ajang popularitas aja! Tujuan awal votes sama comments jadi hilang. Yang harusnya jadi bentuk apresiasi, malah jadi patokan. Gue enggak mau kayak gitu. Yang paling penting dari tulisan kan, isinya. Nah, dengan nulis di mading, gue harap, lo bisa mengubah cara pandang lo tentang menulis."

Instagram mengangguk. "Nah! Sama tuh, kayak likes di Instagram. Kalau likes lo enggak banyak, bukan berarti foto lo jelek. Enggak ada salahnya bikin feeds bagus di Instagram, tapi kalau keseringan post-hapus-post-hapus, gue jadi pusing!"

Sementara itu, LINE memasang tampang seriusnya dan berkata, "Udah deh, lo ikutin aja ide Wattpad."

Aku menghela napas. Aku tahu, apa yang dikatakan Wattpad dan Instagram memang benar. Tapi tetap saja... rasanya sulit sekali melakukannya. Aku malu kalau seisi sekolah membaca tulisanku. Bagaimana kalau anak-anak di sekolahku kemudian membicarakan tulisanku yang memalukan di media-media sosial? Kalau perlu kuingatkan, aku sedang tidak bisa membuka media-media sosial sehingga aku tidak akan tahu jika mereka membicarakanku!

Aku memutar otak untuk beralasan agar Wattpad membatalkan ide gilanya. "Ya tapi, kan—" Aku memulai, tapi sebelum aku bisa mengeluarkan argumenku, Wattpad sudah lebih dulu menarik tanganku dan mendorongku menuju meja belajar. Ia kemudian mendorong bahuku pelan agar aku duduk di kursi belajarku.

"Nah, sekarang, ambil kertas dan mulai tulis cerpen. Enggak setiap hari ekskul mading buka penerimaan cerpen. Ini kesempatan yang bagus, habis ini, lo bisa dapetin ponsel lo lagi. Nah, sekarang, silakan tulis cerpen lo!" kata Wattpad, "gue bisa bantu cari ide kalau lo mau. Tapi untuk nulis dan ngembangin idenya, lo harus kerja sendiri, karena ini kan—"

"Oke, oke," selaku. Aku kemudian membuka laptop dan beberapa saat kemudian, aku sudah memandang layar kosong berwarna putih di depanku, menunggu untuk diisi.

Aku menghela napas kesal, seperti yang mereka bilang, Instagram, Wattpad, dan LINE memang tahu segala hal yang terjadi di sekolahku—termasuk ini. Ekskul mading memang beberapa hari yang lalu membuat pengumuman lewat mading dan beberapa media sosial tentang penerimaan cerpen untuk dimuat di mading. Aku sendiri mendengar ini dari Wanda, yang waktu itu sedang membacakan isi timeline LINE-nya.

"Ayo, mulai nulis!" Suara Instagram itu memecahkan lamunanku.

Setelah itu, samar-samar aku mendengar suara Wattpad dan LINE juga, tapi aku tidak begitu memperhatikan, sehingga tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Pikiranku sekarang tertuju ke layar kosong di hadapanku.

Apa yang akan kutulis?

Waktu aku menulis di Wattpad, aku menulis dengan tema yang sedang nge-tren, sehingga masih ada yang mau membaca ceritaku. Kalau sekarang....

Ah! Tiba-tiba aku mendapat ide.

Kalau memang aku tidak bisa tahu apakah ada yang membaca ceritaku akau tidak, kenapa tidak sekalian saja kubuat cerita yang tidak akan dibaca oleh orang lain? Aku juga akan menggunakan nama samaran, sehingga tidak ada yang tahu bahwa yang menulis cerita itu aku. Kalau menggunakan namaku sendiri, teman-temanku pasti akan membaca cerpenku, tapi kalau aku menggunakan nama samaran, dijamin, mereka tidak akan repot-repot pergi ke mading untuk membaca cerpen atau tulisan apa pun yang ada di sana (aku mengenal teman-temanku, oke?). Nah, dengan begitu, kemungkinan ada yang membaca cerita itu di mading kecil sekali.

Lagi pula, setelah dipikir-pikir, kan belum tentu cerpenku yang dimuat. Pasti banyak yang mengirim cerpen ke mading dan pasti cerpen-cerpen selain punyaku bagus-bagus. Dengan pikiran seperti itu, aku mulai tenang dan tidak sekhawatir tadi.

Aku pun mencoba mencari-cari ide di kepalaku, ide-ide tertumpuk yang tidak pernah kutuangkan karena tahu, tidak ada yang mau membaca cerita seperti itu di Wattpad.

Akhirnya, setelah entah berapa lama aku merenung, aku pun memutuskan ide apa yang akan kutulis dalam bentuk cerpen.

Dengan senyum lebar di wajah, aku pun mulai mengetik.[]

14 Januari 2018

When Social Media Comes AliveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang