Celah Masa Lalu

1.8K 237 49
                                    

Cat minyak berceceran di atas palet yang kupegang sejak setengah jam yang lalu. Mataku fokus bergantian antara kanvas dan Mbak Ike yang tampak mengenakan dress putih selutut duduk di kusen jendela ruang santai. Kontrakan Tante Risma terdiri atas enam kamar yang berjajar. Di depan kamar ada ruang santai yang cukup luas. Ruang santai ini termasuk ruang bebas untuk menerima tamu dari penghuni kontrakan. Ada satu set sofa lengkap dengan meja kaca berhias vas bunga mawar. Di pojok ruang santai ada rak buku.

Nah, aku-lah satu-satunya penghuni kontrakan yang hobi mojok di ruang santai dikala penghuni kontrakan lain asyik bergurau sambil duduk di sofa. Kadang demi ketenanganku, aku lebih suka membawa buku-buku itu ke kamar atau bergabung dengan Tante Risma yang asyik menonton TV di rumahnya.

Antara rumah dan kontrakan dipisahkan oleh sebuah taman mini. Aku juga suka duduk di taman ini sembari melukis apa saja, atau sekadar duduk di gazebo menikmati green tea dan sepotong cake serta mendengarkan musik. Kadang acara mendengar musik berubah menjadi dramatis saat Eyang Kakung dan Eyang Putri telepon. Mereka akan menangis merindukanku. Sedangkan ibuku mengomel. Omelannya lebih panjang daripada jalan Deandeles dari Anyer sampai Panarukan.

"Uwis to, kasihan Arimbi. Mbok ya, disuruh pulang saja," rintih Eyang Putri, nelangsa. Logat bahasa Jawa-nya masih sangat kental meski menggunakan bahasa Indonesia.

"Nggak usah dibela, Eyang. Arimbi sudah besar, dia bakalan pulang kalau minat. Marahnya kekanakan, hanya karena kita sering memperkenalkannya dengan laki-laki yang baik dan mapan. Mau jadi perawan tua!" Ibu terus mengomel.

Sementara aku hanya memutar bola mata, jengah dengan semua omelan ibuku. Begitulah ibuku, terlalu parno dengan urusan jodoh. Padahal artis Korea Song Hye Kyo menikah di usia tiga puluhan santai saja. Tante Risma juga menikah di usia 34 tahun baik-baik saja.

"Arimbi, sepertinya nggak pernah ada teman yang datang menemuimu. Kenapa?" Tiba-tiba Mbak Ike bersuara membuyarkan lamunanku sembari masih duduk santai di kusen jendela selama aku melukisnya.

Aku meringis mendengar pertanyaan Mbak Ike. "Aku jarang ada teman, Mbak," sahutku.

"Ah, masa sih!" Mbak Ike setengah tak percaya.

Namun, pembicaraan tak berlanjut karena lagi-lagi aku tak menanggapinya dengan serius dan sibuk melukis. Membicarakan perihal sahabat membuatku teringat sebab mengapa aku enggan menjalin persahabatan. Masa di mana kebanyakan orang bilang indah dan tak terlupakan; masa SMA. Bagiku, masa itu adalah masa kelabu di mana aku sering menjadi korban pembodohan. Pikiranku menerawang, teringat masa kelam remaja.

**

Suasana di sebuah taman bacaan senyap. Semua sibuk menghadap buku yang mereka pegang masing-masing. Kuhirup aroma kertas; ritual aneh yang aku lakukan sebelum aku membuka dan membacanya. Atau terkadang aku fokus menatap jalanan melalui jendela ruangan dengan dimensi cukup luas ini.

Taman bacaan ini memang milik perorangan. Boleh membaca di tempat bila ingin gratis, atau sekadar duduk dan menikmati camilan dan minuman ringan di cafe pojok taman bacaan. Halaman yang cukup asri ditumbuhi pohon kersen dan aneka bunga anggrek yang tergantung rapi di teras. Itu sebabnya aku suka mangkir duduk di sini, dekat di jendela sembari membaca buku dan sesekali mengamati halaman yang asri.

Cafe books ini sudah lama berdiri, hanya saja jarang sekali peminat pembaca buku. Hingga banyak buku di sini yang tampak masih klimis tanpa tekukan di sudutnya karena jarang tersentuh. Selain buku ada juga di sisi yang lain menyewakan DVD aneka film, baik luar atau dalam negeri.

Aku baru saja akan menutup buku komik dan meyeruput milkshake cokelat, ponselku berdenting sekali. Aku memutar bola mata dengan jengah. SMS dari Mita atau Nina mungkin. Mereka adalah teman satu kelas yang lumayan dekat denganku. Sering pergi jalan bersama ke mall, salon, festival band atau nonton kakak kelas yang kece badai main 3 on 3 di lapangan basket. Mereka berdua hobi melakukan hang out seperti itu. Aku, sih, hanya ikut saja. Lebih tepat dibilang seperti obat nyamuk belaka.

Arimbi (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now