Jatuh? Cinta

231 25 3
                                    

Malam ini aku harus lembur. Ya, karena ada job dadakan dari Tante Risma. Ia bilang ada teman guru di salah satu SD meminta bantuanku membimbing muridnya yang akan mengikuti festival seni. Fee yang lumayan membuatku terlalu bersemangat membuat sampel lukisan penari bali menggunakan crayon andalan anak sekolah dasar. Bukan suatu teknik yang sulit meski aku lebih sering bermain dengan cat minyak dan kanvas.

Meja ruang santai kontrakan sudah berjejal dengan perkakas lukis. Salah satu kelemahanku adalah, setiap kali melukis selalu coreng-moreng hingga ke wajah. Ah, entahlah. Eyang Putri sering mengataiku jorok saat menggeluti hobi lukisku. Aku, sih, bodo amat. Karena saat melakukannya aku bahagia.

Sesekali aku menengok kamar Nina, sepertinya ia sudah tertidur setelah aku mengantarkan makan malam tadi. Entah makanannya dimakan atau tidak, tidak peduli. Sepertinya ia sudah kembali sehat karena siang tadi ia sudah bisa berangkat kerja meski wajahnya pucat.

Aku menghela napas dan kembali fokus dengan pekerjaan. Sebelah tanganku menggeragap ke sisi kanan meja, mencari spidol hitam untuk mempertegas garis luar lukisan. Aku setengah frustrasi saat yang kucari tak tergapai. Hingga tanpa sadar malah meraih tangan Sena yang sedari tadi sama melukis di sampingku.

Aku mendecakkan lidah, dan mengalihkan tanganku dari atas tangan Sena. Kemudian membungkukkan badan mencari spidol ke kolong meja. Sementara Sena hanya terkikik geli seraya meraih tangan kananku kembali. Lalu menyerahkan spidol ke tanganku.

"Cari ini?"

"Hiiish, kenapa tidak bilang dari tadi?" Aku menggerutu. "Kenapa tidak tidur?" tanyaku tanpa menatap lawan bicara, melainkan fokus dengan lukisan.

"Aku sedang melukis. Kamu tidak lihat dari tadi aku sibuk begini?" sahutnya, seraya berpindah ke sofa di belakang punggungku dan merebah di sana.

Aku yang duduk di karpet terpaksa harus menoleh ke belakang untuk menanggapi celotehannya. "Aku tahu, tapi untuk apa?"

"Diamlah," pintanya.

Wah, sekarang Sena bahkan berani sewot seenaknya padaku. Setelah lancang menyebutku sebagai 'istri Bimasena', kerap muncul tiba-tiba di dekatku, kali ini ia bisa sok sewot denganku. Aku hampir memalingkan wajah saat ia malah memegang kepalaku—melarangku berpaling.

"Aku bilang diam, jangan bergerak. Aku sedang menggambar istri Bimasena," cengirnya.

Aku memutar bola mata seraya menahan napas saat kedua tangan Sena masih melekat di kedua pipiku. Oh, Tuhan! Ubahlah aku jadi batu karang agar tak mudah goyah. Aku kerap sebal dengan diriku yang mudah terpesona dan meleleh karena Bimasena.

Kuembuskan napas lega saat tangannya kembali sibuk melukis. Apa sebenarnya yang ia lukis? Apa melukis wajahku? Apa pula yang diharapkan dari wajahku. Muka coreng-moreng dengan keringat di kening dan pelipis.

Sena memang tak hanya piawai dalam profesinya. Di luar profesinya yang menuntut ketegasan dan kewaspadaan di lingkungan masyarakat, ia selalu luwes di bidang seni. Aku tahu Sena pandai melukis semenjak kami melukis di dinding Taman Kanak-kanan waktu itu. Selain itu, ia juga piawai menari seperti ibunya. Jujur saja, aku suka dengan laki-laki yang memiliki jiwa seni. Entah itu seni rupa, musik, atau tari. Semua terasa menarik bagiku.

Aku masih terdiam demi memenuhi permintaan Sena yang katanya sedang melukisku. Alih-alih hanya berdiam diri, aku meraih kertas dan pensil. Aku sempat terkikik menahan tawa seketika aku menggores pensil di media kertas.

Beberapa menit berlalu saling melukis. Sena bangkit seraya melepas kertas dari buku sketsanya. "Untukmu," ucapnya.

Aku tersenyum sembari menukarnya dengan hasil lukisanku. Ia tak ambil pusing dengan apa yang kugambarkan tentangnya. Berlalu begitu saja dan berbalik saat ia hendak menutup pintu kamarnya.

"Arimbi," panggilnya.

"Mm?" dehamku sembari mendongak.

Sena menunjukkan hasil lukisanku. "Terima kasih gambar wayang Bimasena-nya. Aku suka," celetuknya.

Aku tertawa. Ya, aku tidak menggambar wajah Sena. Aku tadi menggambar wayang Bimasena. Bukankah Sena selama ini sangat terobsesi dengan tokoh wayang itu?

"Arimbi," panggilnya lagi.

"Ya?"

"Aku suka kamu yang tertawa seperti itu," ungkapnya.

Serius! Kali ini aku serius! Mata Sena seperti terpaku padaku untuk beberapa saat sebelum ia menutup pintu kamarnya. Aku segera berbalik, menghindari tatapan Sena, dan baru kembali mengintip ke arah kamar Sena saat terdengar pintu di tutup. Oke! Aku akui, ada debaran aneh yang menyentak dada.

Bersamaan embusan napas, aku kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Kulipat kertas bergambar wayang Dewi Arimbi, hendak aku masukkan ke dalam selipan buku sketsa. Sebentar! Tanganku tertahan saat hampir menutup buku. Ada gambar lain di balik kertas pemberian Sena. Kuurungkan niat menyimpan gambar dan perlahan kembali membuka lipatan. Kali ini aku melihat bagian belakang kertas.

Aku menutup mulut yang ternganga tak percaya. Ini mustahil. Sena benar-benar menggambar wajahku. Sama persis dengan diriku. Bahkan bentuk kacamata yang dikenakan bisa sama persis seperti yang sedang aku pakai. Sedetail itukah Sena mengamatiku? Kalian lihatlah sendiri. Rambut dicepol dengan beberapa helai yang lolos dari ikatan, kaus big size dengan kerah sedikit kedodoran, wajah tirus yang kurus karena mungkin aku kurang banyak makan. Eh, aku mohon abaikan spesifikasiku yang terakhir. Aku makan banyak, kok. Sungguh!

Aku tersenyum, menggigit bibir karena perasaan melambung tak tertahankan. Aku tahu tidak boleh berharap terlalu banyak dari laki-laki gagah macam Bimasena. Hanya saja, caranya sukses membuatku seolah menjadi wanita istimewa dalam hidupnya. Apa ini hanya perasaanku saja?

Doaku dalam hati.

**

(18-02-2022)

Hai, apa kabar hari ini? Aku belum ada ide buat lanjut Sang Perawan, jadi aku lari ke sini. :)

Cerita ini sudah pernah terbit secara mayor dan masuk rak rekomendasi di Toko Buku Gramedia pada tahun 2018, tapi kontraknya cuma 1 tahun.

Naskah ini berdebu di dalam folder laptop. Rencananya mau aku repost sampai 5 part lagi. Sisanya aku repost di Karyakarsa, ya.

Jangan cari buku ini di Gramedia. Udah enggak ada karena seperti yang aku bilang tadi, udah habis kontrak.

Kalau kalian mau beli bukunya, silakan inbox aku, nanti aku tanyakan ke gudang penerbitnya. Kali aja masih ada sisa stok. :)

Enjoy this story sampai 4 part berikutnya. Yang mau baca dari awal lagi juga boleh banget. Belum aku hapus, kok. ^_^

Terima kasih. :*

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Feb 18, 2022 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Arimbi (Sudah Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt