Hantu Masa Lalu

1.7K 154 43
                                    

Suara dentingan gerabah terdengar dari arah pantry kontrakan. Terdengar kasar dan seolah menunjukkan sang koki memasak dengan balutan amarah. Siapa kokinya? Baiklah, akan aku ceritakan yang sebenarnya. Ya, akulah si koki yang tengah memasak di pantry kontrakan dengan kesal. Andai aku tak memiliki sifat manusiawi, sudah kubiarkan saja wanita bodoh itu tergeletak lemas. Tak usah dikasih makan sekalian.

Hanya saja aku bukan tipe wanita layaknya penyihir jahat dalam dongeng Putri Tidur yang tega meracuni sang putri. Tentu saja, aku mana tega membiarkan Nina menggerung sembari memegangi perutnya. Cukup. Aku tak tega melihatnya meringis sambil meringkuk di kamar semalaman.

"Makanlah, setelah ini istirahat. Jika kamu mau pulang ke Jogja, besok aku antar," kataku seraya meletakkan bubur hangat di nakas kamar Nina.

Nina bangkit perlahan dari rebahan. Wajahnya masih terlihat pucat. "Aku tidak akan pulang sebelum menemukan Rizal," gumamnya.

Aku yang sedang menyobek bungkus obat bergeming sejenak. Kemudian menoleh dan menatap Nina tak habis pikir. "Untuk apa? Kandunganmu itu sudah kamu gugurkan, lantas kamu mau meminta Rizal untuk apa?" cecarku.

Nina mengepalkan kedua tangan di atas pangkuan. "Karena aku mencintainya, Arimbi!" geramnya.

 "Karena aku mencintainya, Arimbi!" geramnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Tawa hambarku terlepas. Kupijit keningku yang mulai pening memikirkan otak Nina yang dangkal. "Jika kamu mencintainya, kenapa kamu menggugurkan kandunganya?"

"Kamu pikir gampang menyembunyikan perutku yang semakin membuncit? Aku tidak mau disebut sebagai wanita gampangan karena hamil anak orang!"

Aku mengangkat kedua telapak tangan ke udara—memintanya untuk berhenti berbicara konyol.

"Bukankah itu kenyataannya?" tantangku.

"Arimbi! Bisakah kamu tidak memojokkanku?! Bukan hanya aku yang salah, tapi Rizal juga! Toh, kita melakukannya mau sama mau." Suaranya melirih di akhir kalimat.

Aku kembali tersenyum hambar. "Kalian mau melakukannya, tapi tidak mau menanggung risikonya?" Kuhela napas dengan kasar seraya berkacak pinggang. "Dan perlakuan kalian tidak hanya menyakitiku. Mita. Dia juga terluka! Katakan padaku, bagaimana bisa kamu tega melakukan affair di belakang Mita?"

Nina terpaku, menatapku nanar dan kehabisan kata untuk kembali memperpanjang percakapan ini. Saat wanita itu tertunduk aku merangsek ke luar dari kamarnya. Namun, langkahku terhenti di depan pintu. Aku membalik badan, kembali menatap Nina dengan tatapan sedikit melunak.

"Entah siapa yang benar dan yang salah. Aku rasa, semenjak dulu persahabatan kita memang ... sudah tidak sehat." Mataku memanas, sesak di dada seolah meremas paru-paruku agar berhenti bernapas. Kututup pintu perlahan saat melihat Nina tertunduk. Saat itu, aku bisa merasakan bahwa Nina berada dalam titik terapuh. Air matanya berderai, bahunya bergetar hebat.

Kuletakkan kembali nampan kosong ke meja pantry. Duduk termenung sendirian dan sesekali menghapus air mata. Sungguh, sebenarnya ini bukan kali pertama. Kenapa aku begitu marah pada Nina? Karena ini adalah kesalahan keduanya. Aku masih ingat siapa Nina. Masih ingat berbagai kebodohannya semasa dulu. Nina si gadis remaja yang terjerat kehidupan bebas tak terbatas.

Arimbi (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now