Apa yang Terjadi?

1.4K 213 32
                                    

Suara Arumi terdengar melalui ponsel yang kulekatkan ke telinga. Ke mana lagi aku harus mencurahkan segala keluh kesah selain padanya. Hanya saja beberapa bulan ini aku jarang telepon. Arumi empat bulan yang lalu baru saja menikah, aku takut mengganggu aktivitasnya.

"Jadi, Mita sekarang di Jakarta?" Arumi terdengar serius dengan pembahasan Mita.

"Iya, aku kemarin habis ketemu dia. Dia kerja di bagian keuangan TK kenalan anak buah Om Juna," ceritaku. Aku masih enggan menceritakan perihal Sena; laki-laki yang sering membuatku gugup.

"Setahuku memang sebelum aku menikah, dengar-dengar Mita putus sama Rizal. Entah karena apa aku kurang tahu," terang Arumi.

"Oh," lirihku. Aku mengembuskan napas perlahan. Nama Rizal benar-benar membuat jantungku serasa terjun ke dasar jurang tiap kali disebut.

"Eh, kapan pulang Jogja? Kangen, nih, pengen ketemu tahu," keluh Arumi sedikit kesal. "Kamu juga jadi jarang telepon."

"Ih, aku mana berani gangguin wanita bersuami. Nggak enak sama suami kamu, kali aja kamu lagi sibuk ngurus suami," sergahku cepat. "Kamu, dong, yang telepon aku duluan."

Arumi terkekeh. Sepuluh menit aku habiskan waktu bercakap-cakap dengannya melalui telepon. Aku sama sekali tak berminat membahas masalah Mita lagi, meski dalam benakku penuh tanda tanya ada apa sebenarnya dengan Mita? Kenapa ia sampai meninggalkan Jogja?

Dalam pertemuan waktu itu di taman kanak-kanak, aku tak berbicara banyak dengannya. Hanya saling menanyakan kabar, kemudian Mita asyik mengobrol dengan Sena di teras dan aku sibuk melukis. Sama sekali aku tak berminat curi dengar pembicaraan mereka.

Pipiku menggembung dan mengeluarkan helaan napas perlahan. Alih-alih memikirkan Mita lebih baik membaca. Toh, aku berharap tidak akan bertemu dengannya lagi. Beberapa menit waktu hening kugunakan untuk meraih buku di rak pojok ruang santai kontrakan. Mencium aroma kertas, kemudian membacanya.

Suara gelak tawa beberapa penghuni kontrakan lain yang baru saja pulang dari dinas terdengar. Mbak Ike dan Mbak Lusi tergelak saat Sena menggumamkan kata-kata humornya.

"Eh, serius entar malem kita makan bareng, ya?" ajak Mbak Lusi.

"Bripka Sena habis gajian, nanti kita ditraktir makan!" seru laki-laki yang setahuku sahabat Mbak Ike. Aku tak begitu banyak mengenal penghuni kontrakan lain. Namanya saja tak paham.

Oke, oke ... aku memang pemalu, jadi jangan lagi kalian mengolok-olok diriku. Aku tertegun saat keisenganku menatap Sena malah berbalas senyuman manis dari pemilik nama Bimasena itu. Aku buru-buru kabur sebelum sebutan 'istri Bimasena' menyapaku. Sementara Sena masih asyik mengamatiku hingga aku sudah masuk ke kamar dan mengintipnya melalui celah pintu yang terbuka sedikit.

Sialnya, ia berhasil menangkap basah diriku yang mengintip layaknya stalkler amatir. Ia terkikik geli saat aku membanting pintu cukup keras.

Suara ramai sudah tak lagi terdengar. Aku kembali mengintip, melongokkan kepala melalui celah pintu yang kubuka sambil berjongkok.

"Kalau mau bertemu dengan suami Arimbi bilang saja," gurau Sena.

Astaga! Aku tersentak menemukan Sena sudah berdiri bersandar di kusen pintu kamarku. Spontan aku mendongak dan ....

Duukk ...!

Aku memekik tertahan saat kepalaku berbenturan dengan kenop pintu. "Seennaaa ...! Ih, kenapa kamu suka banget bertingkah aneh?!" geramku seraya mengusap pelipis—kesakitan.

Sena terkikik geli. "Maaf, bukan aku saja yang aneh. Kamu lebih aneh ngintip-ngintip di balik pintu."

Napasku tercekat, tertahan beberapa detik seolah paru-paru tak menginginkan kembang-kempis lagi. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya saat kedua tangan Sena menangkup kepalaku.

Arimbi (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now