DUA PULUH DUA

70 11 0
                                    

Bersinarlah di gelapnya malam seperti bulan meskipun sebentar. Bersinarlah bersama bintang-bintang. Teranglah meskipun engkau takkan bisa terus bersinar.

***

Mata coklat terang itu tak berkedip. Ia dan pikirannya tengah fokus tatkala dua orang di dalam rumah itu pergi bersama. Tangannya terkepal kuat, sedang hatinya bergejolak memikirkan segala kemungkinan.

Sebuah koper berukuran sedang berdiri di sampingnya. Ia masih menunggu. Hingga tak lama kemudian, motor yang dikendarai seorang pemuda berlalu dan hilang dari pandangannya hanya dalam hitungan detik.

"Pengkhianat."

***

"Dino!" teriakan itu menggema di ruangan berukuran 10x12 meter tersebut.

Sang pemilik suara–Chrisa-tampak berlari ke arahnya. High heels yang tengah digunakannya beradu dengan lantai, menciptakan sebuah suara lain yang tak kalah berisik dari teriakannya.

Jarum jam telah menunjukkan angka 22.30, tapi gara-gara kejadian tadi siang, gadis itu belum bisa tidur lelap malam ini. Chrisa berhambur ke pelukan Dino. Bisa pemuda itu rasakan detak jantung gadis itu juga perasaan sedih yang tengah merundungnya.

Dino menelan ludahnya susah payah. Ia mengusap pelan rambut panjang kembarannya dengan rasa sayang. "Apa yang terjadi?"

Alih-alih menjawab, Chrisa justru menenggelamkan wajahnya di dada Dino. Gadis itu berusaha mencari ketenangan. Ia menginginkan ketenangan dan berharap apa yang tengah terjadi belakangan ini hanyalah mimpi buruk belaka. Bahwa ketika ia membuka matanya, semuanya akan kembali normal.

"Sa ... lo kenapa? Bilang sama gue," ucap Dino lagi. Kali ini pemuda itu memaksa gadis itu mendongak ke arahnya.

Jika ditanya apa yang ia rasakan, pemuda itu merasa hancur berkali-kali lipat. Sayangnya, sebagai saudara kembar, ia hanya bisa merasakan perasaan yang tengah dirasa Chrisa. Tapi tidak untuk tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya yang lain. Ia mati rasa.

Setetes kristal bening tampak menetes. Hanya satu dan tangan Dino tergerak untuk menghapusnya kala hembusan angin tak berniat mengeringkan luka. Pemuda itu kembali merengkuh tubuh di hadapannya sembari sebelah tangannya menutup pintu hati-hati.

"Lo butuh istirahat, Sa," ucapnya.

Gadis itu menggeleng lemah. "Gue nggak bisa tidur," sahutnya ketika mereka telah sampai di depan kamar. Tapi bukan Dino namanya kalau tidak bisa membujuk gadis itu.

Setengah memaksa, pemuda itu merebahkan tubuh Chrisa di atas tempat tidur dan menyelimutinya. Dino baru saja akan beranjak ketika suara parau di sampingnya terdengar begitu rapuh.

"Lo ke mana aja?" tanya gadis itu lembut, tapi tak sanggup menyembunyikan suaranya yang bergetar. Demi mendengarnya, Dino mengurungkan niat untuk kembali ke kamarnya atau sekedar mengisi perutnya yang kosong saat ini.

"Nggak penting gue pergi ke mana. Yang penting gue udah balik sekarang, 'kan?" ucap Dino. Kali ini pemuda itu ikut membaringkan tubuhnya di samping sang saudara kembar.

"Untuk Sheila."

"Apa, Sa?"

"Lo pergi karna Papa. Dan lo kembali karna Sheila. Iya kan, Din?"

Dino mematung. Digenggamnya tangan gadis itu dan meremasnya pelan. "Gue pulang karna inget elo, Sa."

Sinar mata pemuda itu meredup. Chrisa bisa melihatnya, juga lingkaran hitam yang baru gadis itu sadari juga tak luput dari penglihatannya. Ia mengubah posisinya dari menyamping hingga kini telentang. Setelahnya, Chrisa tidak bicara apapun lagi.

The Way Too Far [End | Belum Revisi]Where stories live. Discover now