Chapter One

126 5 0
                                    

Setamat dari kuliah hal yang paling sulit kujalani adalah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusanku. Ah ya, dulu aku mengambil kuliah jurusan Management. Namun pekerjaan yang kudapat malah kebagian receptionist di salah satu firma hukum milik keluarga teman kuliahku. Jauh beda ya? Masa bodoh. Yang penting aku bisa dapat kerja dan menghasilkan uang sendiri. Meski tidak banyak tapi sekarang aku sudah bisa lepas dari aksi menadahkan tangan pada orang tua.

Lain halnya dengan Cia. Sesuai dengan kelebihan fisiknya yang tinggi semampai dan wajahnya yang cantik. Cia bisa mendapatkan pekerjaan sebagai seorang Akuntan Bank, ck gadis itu ternyata encer juga otaknya, kupikir ia hanya bisa mengeluh matahari yang terlalu panas atau suhu di kafe tempat kami biasa nongkrong terlalu dingin. Jangan ditanya masalah waktu yang kami gunakan untuk kumpul-kumpul lagi. Jarang, bahkan kami bisa dibilang hanya beberapa kali saja saling menyapa melalui pesan chat.

Sedangkah Sergio a.k.a Jio. Dia sudah bekerja sebagai kontraktor di perusahaan kontruksi keluarganya. Jika dipikir-pikir hanya aku saja diantara kami bertiga yang mendapat pekerjaan hmm bagaimana ya? Terlalu sederhana dan tidak membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Aku bahkan tidak perlu khawatir jika melakukan sesuatu yang  tidak sengaja, karena aku bisa memperbaikinya dengan mudah. Cukup pasang senyum, bersikap ramah, dan menjawab pertanyaan beberapa orang yang datang.

Sudah lima tahun aku menamatkan kuliahku dan sudah hampir tuhuh enam tahun aku memutuskan untuk tidak lagi membuat diriku menjadi menyedihkan dengan usaha untuk mencari tahu keadaan Rasta. Harusnya orang-orang yang mengenalku memberikan aku penghargaan, beberapa dari mereka pasti tahu jika tidak mudah bagiku, seorang Medina untuk melupakan Rasta. Sosok laki-laki yang membuatku seperti idiot.

Sekarang pun aku sudah tidak menyisakan sedikit pun rasa apa-apa kepada Rasta. Jika salah satu teman kuliahku menyebut nama Rasta untuk menggodaku maka aku hanya akan tersenyum hambar. Aneh, sudah ribuan hari tapi tetap saja ledekan teman-temanku selalu saja menuangkut Rasta.

Ah ya, wajar saja. Dulu aku sangat tidak tahu malunya, menempel pada Rasta seolah kami diberi lem super perekat.

Tapi aku sudah tidak lagi memikirkan Rasta. Maksudku aku sudah tidak memiliki emosi apa-apa lagi pada laki-laki itu. Aku suka dengan kehidupanku yang sekarang dan aku tak mau mengacaukan masa yang begitu kunikmati ini hanya demi seseorang yang tidak pernah mempertimbangkan keberadaanku dulu.

Sudah jam lima sore,  itu berarti pekerjaanku sudah selesai.

Lalu aku akan kembali ke rumah dan segera membersihkan diri. Dari Lobi aku bisa melihat seorang laki-laki yang berdiri masih lengkap dengan setelan ala eksekutif. Hmm dia pasti...

''Din.''
Ahh demi apa? Suaranya sungguh menyejukkan hati. Rasanya aku tak akan bosan jika akan memanggilku berulang kali.

Dia Orion, pacarku. Sebenarnya aku sedikit malu mengakui jika sosok sempurna itu adalah milikku. Oke, sebelumnya kami sudah mengenal. Tempat kerja Orion adalah perusahaan yang juga dulu merupakan tempat magangnya Jio. Aku pernah melihatnya saat dulu aku dan Cia mendatangi Jio.

Orion itu murah senyum, tidak banyak bicara, tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak suka bohong kurasa, tidak egois dan yaa dia itu cakep, oh ya Orion juga tinggi. Tinggi banget. Mengingatkanku dengan Rasta. Tapi sekarang aku sudah sepenuhnya mov on dong.

''Orion!'' Jeritku nyaris meloncat kegirangan. Kupikir dia masih di kantornya. Maklum, Orion itu selalu lembur semenjak tempat kerjanya mengalami pergantian pemimpin. Orion itu bekerja di perusahaan Kontruksi sama kayak Jio.

''Kok kamu bisa di sini sih?'' Tanyaku dengan mata berbinar. Aku juga bisa merasakan bila kedua sudut bibirku terus saja melengkung sembari menatap mata Orion yang teduh itu.

Tuhan, dia itu manis banget. Rasanya nggak adil. Mengapa hanya aku saja yang nampak kelohatan begitu antusias? Orion memang bukan tip laki-laki yang ekspresif namun tetap saja rasanya aku ingin dia juga menunjukkan semangat yang sama sepertiku saat kami bertemu.

Aku melingkarkan lengan kananku pada tangan kiri Orion sambil menyandarkan kepalaku pada bahunya yang keras tapi nyaman itu.

''Kok kamu bisa di sini?'' Tanyaku kembali saat Orion hanya diam saja. Aneh, saat ini Orion kelihatan tidak bersemangat begitu.

Kudengar ia tertawa kecil kemudian lenganya yang bebas terulur mengacak rambutku.

''Memang nggak boleh?'' Kami berjalan ke arah car port, masih dengan aku yang menempel erat pada sisi tubuhnya persis permen karet.

''Kamu kok balik nanya sih?'' Kami sudah sampai pada mobil Audi Putih milik Orion. Lagi-lagi bukannya menjawab dia malah mengacak rambutku dan membukakan pintu bagian depan untukku. Mau tak mau aku jadi senyum-senyum dan segera duduk.

Aku bukanlah tipe perempuan yang mudah meleleh jika diperlakukan sedikit manis saja. Tapi karena yang melakukannya adalah Orion, mau tak mau aku jadi lemas.

Dulu kupikir Orion itu menggunakan sihir atau mantra hingga membuatku jadi kepikiran dia terus, namun sahabatku Cia pernah bilang kalau Orion itu memang loveable. Selain wajah Orion yang cakep, sikap lembutnya pada perempuan mungkin menjadi faktor yang kuat hingga para gadis di luaran sana menjadi gila. Lagi-lagi aku merasa beruntung karena akulah yang mendapatka posisi khusus di sampin Orion.

Kami sudah pacaran setahun, setelah satu tahun lamanya kami terganjal dengan hubungan tanpa status. Perhatian Orion yang kuanggap basa-basi saja membuatku ragu jika dia ada hati padaku. Jadi selama itu kami jalan, nonton, makan layaknya orang pacaran tapi kami sama sekali tidak memiliki label pacaran.

Jadi aku berinisiatif untuk meminta  agar Orion jadi pacarku. Hhh ternyata aku memang punya bakat jadi gadis agresif, tidak Rasta, tidak Orion. Aku bertindak selangkah lebih jauh.

''Kita pacaran ya?'' Tanyaku suatu hari saat Orion mengantarku. Laki-laki itu nampak membeku mendengarku. Wajar, mungkin ia belum pernah mendengar gadis lain yang mengajaknya pacaran.

Apalagi aku yakin jika mimik wajahku waktu mengatakan itu pasti kelihatan merajuk.

Aku sudah menyiapkan diri bila seandainya Orion berpikir buruk tentangku. Bagiku lebih baik ia memperjelas hubungan kami. Agar aku bisa dengan leluasa mengusir beberapa teman perempuan Orion yang sangat kegenitan.

''Kamu serius?''  Tanya Orion setelah menepikan mobilnya.  Sedikit geli juga. Untuk membicarakan perihal ajakan pacaranku, Orion harus menepikan mobilnya. Mungkin ia khawatir jika aku mengamuk setelah mendengar penolakannya.

Ya dari pada digantung.

''Iyalah, masa ia aku becanda.''

Orion tersenyum, membuatku sedikit terpanah namun kututupi dengan raut datar. Aku jadi penasaran apa sih yang membuat Orion betah berada di sampingku hampir setahun itu dengan label teman tapi hmm ya dia memperlakukanku seperti pacar. Bahkan sudah hampir enam kali dia menciumku, walaupun Cuma pipi sama kening.

''Rupanya beruang kecilku yang satu ini.'' Orion memiringkan tubuhkan ke arahku hanya untuk mengacak rambutku.

''Iya aku mau kok jadi pacar kamu.'' Jawab Orion dengan suara dibuat seolah malu-malu itu. Tckk harusnya itu bagian aku.

Lalu kami menghabiskan waktu berjam-jam di dalam mobil untuk saling mengintrogasi. Walaupun sebenarnya hanya aku yang sibuk bertanya dan dia hanya menjawab aku tetap bahagia, sangat. Aku sudah sukses move on dari Rasta.

-TBC-

Melody From The PastHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin