Chapter Four

51 3 0
                                    

Sewaktu kecil aku pernah bercita-cita menjadi seorang guru, aku selalu kagum tiap kali melihat ibu guru yang dengan sabar mengajar kami.

Namun makin lama cita-cita untuk menjadi guru itu pupus. Digantikan dengan cita-cita lain yang sayangnya tidak bisa terwujud.

Aku tidak kecewa ataupun menyalahkan diriku sendiri. Ya, karena kini yang menjadi prioritas utamaku adalah menjadi istri yang soleha untuk Orion. Haha bukanlah, aku masih memikirkan cita-citaku dan rasanya masih belum terbayang.

Orion kembali dengan dua botol air mineral di tangannya. Laki-laki itu sesekali mengusap peluh di pelipisnya. Orion penuh keringat sedangkan aku masih kedinginan di pagi ini.

Tanpa kuminta Orion dengan berbaik hati membuka segel tutup botol untukku. Ah sweet.

''Kamu masih ada komunikasi sama Dina?'' Tanyaku.

Dia menoleh ke arahku dengan mata yang meneliti. Aku mengulas senyum biasa. Jangan sampai dia tahu jika saat ini aku sedang cemburu berat.

''Ya, dia baik.''

Alasan macam apa itu? bilang saja kamu masih ada rasa.

''Nggak gampang ya ngelupain mantan?'' Sinisku.

''Kamu marah.'' Orion berujar sambil menatap hiruk-pikuk pengunjung di taman yang juga sedang berolahraga, adapula seorang ibu muda yang membawa bayi dengan kereta dorong. Orion menatap ibu dan anak itu cukup lama, hingga aku yakin pasti.

Alih-alih merespon perkataan Orion aku malah mencolek lengannya dengan usil.

''Ihhh si abang mau punya bayi juga ya?'' godaku dengan nada genit.

Orion menoleh dan membulatkan mata ke arahku. Beberapa detik kemudian kekagetan Orion atas tingkah anehku berubah menjadi seringai.

''Ya untuk itu harus ada prosesnya dulu. Masalahnya kamu sanggup gak? Kita nikah terus...''

Sebelum Orion mengatakan hal yang iya-iya dengan cepat kubungkam mulutnya dengan telapak tanganku.

Dia itu memang bunglon. Susah ditebak kemana arah berpikirnya. Bisa-bisanya ia memikirkan pernikahan bahkan memiliki anak di saat aku sedang cemburu. Oke aku yang duluan menggodanya, dan sekarang aku sangat menyesal.

Orion meraih pergelangan tanganku dan melepaskan telapak tanganku yang membungkam mulutnya.

''Kamu santai aja kali.'' Ada nada humor terselip dari suara Orion. Matanya yang menatap lurus ke arahku membuatku ragu jika dia memang hanya bercanda.

''Iya aku santai!'' Ketusku tanpa menatapnya. Aku itu lemah, apalagi kalau di bawah tatapan Orion yang tajam namun meneduhkan.

Sentuhan hangat terasa di atas punggung tanganku. Rasanya sulit untuk bereaksi biasa jika tangan Orion yang hangt itu serasa mengirim sejuta mawar di antara kami.

Aku bukan putri dalam dongen namun dengan Orion rasanya dongeng dalam cerita-cerita itu sekan begitu nyata.

Apa aku mencintai lelaki yang dengan lembut membawa tanganku ke dalam genggamannya? Kuharap iya.

----

Sepulangnya dari kegiatan olahraga yang tak direncanakan aku mendapatkan WA dari Cia.isinya membuatku dengan segera membersihkan diri dan bergegas ke rumah sakit yang disebutkan Cia lewat WA.

Untung saja Orion dengan mudah percaya jika aku tak bisa menemaninya ke rumah orang tuanya dengan alasan malu. Orion itu pintar, kemampuan analisanya di atas rata-rata tapi mudah sekali percaya dengan alasanku yang cenderung dibuat-buat saat aku sedang malas bersama dengan dia.

Melody From The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang