12. Breakfast Incident

24.7K 3K 43
                                    



Gue bangun lebih siang dari biasanya. Solat subuh jam enam, hehehe.

Biar saklek begini gue masih ingat Tuhan, kok. Setelah selesai, gue bangunin Vivi dan nyuruh dia solat juga. Dia masih belum mau buka suara sejak yang terjadi di onsen semalam. Padahal gue udah mencoba bersikap sesantai mungkin.

Gue buka jendela kamar gue dan angin dingin khas pedesaan Jepang langsung menyapa. Membuat gue jadi males mandi! Apalagi ketika gue melihat view dengan pemandangan danau Kawaguchi lengkap dengan kabut tebal di atasnya.

Ditambah sisa-sia rintik hujan semalam masih membasahi balkon kamar hotel gue. Sumpah gue bersyukur banget bisa lihat pemandangan kayak gini secara langsung. Indaaaaah banget. Gak mau pulang rasanya, pengen disini sebulan gitu!

Langsung gue ambil kamera gue untuk mengabadikan momen ini.

Cekrek!

Gue gak bergerak! Perasaan gue belom nyalain ini kamera deh? Kok udah bunyi aja? Gue menoleh ke kanan kosong, gue menoleh ke kiri...

Sialan. Ada si kampret yang juga berdiri di balkon sejajar sama gue yang jaraknya gak begitu jauh dari balkon tempat gue berdiri. Memegang kamera yang gue kenal punya Rama. Gak gue peduliin, gue masih mau fokus sama kamera di tangan gue aja. Walaupun gue masih bisa dengar suara kamera itu terus memotret ke arah gue.

"Baguuus." Katanya sedikit berteriak.

  "Ohayou, Hani-chan..." Katanya lagi tapi gak gue hiraukan. Sok akrab, ih! Males!  

"Bodo amat." Dia malah terkekeh.

"Coba kamu pose lagi foto gunung itu. Nanti saya foto kamu dari sini."

Apa-apaan sih?! Gak cukup ya semalam bikin gue malu setengah hidup?! Padahal emang gue aja yang bego. Tapi gue inget skill dia motret tuh emang bagus banget. Ya udah lah gue emang pengen foto pemandangan ini kan?

"Sip! Satu..dua..tiga. Nanti minta Rama kirim ke kamu ya."

Sudah ah, mending gue masuk lagi.

Gue menyuruh Vivi untuk juga segera mandi dan beres-beres setelah gue selesai. Memastikan semua barang gak ada yang tertinggal karena setelah sarapan kita harus checkout dari sini.

"Udah yakin gak ada yang ketinggalan?" Tekan gue untuk kesekian kali.

Vivi mengangguk dan membawa kopernya dan koper gue keluar kamar.

"Koper gue taro aja. Biar gue nanti yang bawa." Gue mencegah tangan Vivi yang hendak menarik koper milik gue.

"Gak apa-apa biar dibawain Rama." Balasnya singkat.

Gue mengangkat bahu. "Ya udah."

Gue gak mau ambil pusing dan membiarkan Rama menghandle barang bawaan kami. Lebih baik gue sekarang sarapan biar bisa mikir dengan baik.

Begitu sampai di bawah gue melihat menu buffet yang, sialaaaaan kenapa banyakan yang... non halal? Gue hanya bisa makan roti, susu, dan kacang merah. Padahal menu yang lain enak banget keliatannya. Aturan gak usah ada gambar piggy gituuu, kan kalau gak tau gak papa. Hehehe, nggak ding tetap gak boleh!

Tabok aja si Hani, tabok!!!!

Gue melihat menu di ompreng rombongan gue memang sama kayak apa yang gue ambil. Gue mulai makan dengan tenang. Rama dan Vivi kemudian gabung di meja gue, menyisakan bangku kosong di samping gue.

"Saya disini, boleh?" Kalau ini di wattpad, readers udah pasti bisa nebak lah! Iya, itu mas Tama yang ngomong! Kok dia biasa aja sih? Kok malah jantung gue yang kelojotan?

"Silahkan, mas." Jawab Rama sopan. Ini anak mentang-mentang sudah bermalam sekamar berdua sama si kampret (re: Mas Tama) makin akrab aja!

Gue gak mau mengeluarkan suara selain krenyes-krenyes roti dan seruputan susu dari mulut gue. Selain harus menghadapi kecanggungan sama Vivi,gue juga harus pasang muka tebal sama mas Tama.

Sampai pada akhirnya diam-diaman ini berakhir ketika gue melihat panggilan masuk di ponsel gue, dari Ibu.

"Ehem.. Ya halo , Bu?" Gue melirik Vivi dan Rama yang memperhatikan gue.

"Gimana, Kak? Betah disana? Vivi mana? Ibu hubungi kok gak aktif? Rama juga gak diangkat Ibu telfonin. Ibu jadi khawatir. Udah pada makan belom? Ibu kepikiran. Titipan Erza jangan sampe lupa katanya! Dia ngambek mulu tau, kasian. Kamu nanti ajak dia juga dong kapan-kapan." Sahut ibu dari sebrang. Kebiasaan banget kalau nanya borongan gitu.

"Hm lumayan, bu. Dingin disini. Ini kami lagi sarapan.Titipan Erza? Ibu ngomong sama Vivi aja langsung ya bu? Nih, dek..." Gue menyerahkan ponsel ke Vivi lalu melanjutkan sarapan gue tadi.

"Halo, bu. Iya, gak akan lupa. Apa, bu? Hngg, itu anu.. iya bu. Iyaaa... Yaudah nanti Vivi kirim alamatnya mas Bayu ke ibu."

Gue baru akan menyuap roti ke mulut hingga kalimat itu keluar dari mulut Vivi. Gue berdiri dan langsung menarik paksa ponsel gue dan menutup sambungan telfon itu.

"Udah gila lo ya?!" Teriak gue keras. Orang-orang yang ada disini menoleh ke arah gue kaget. Rama berdiri siap untuk melerai kalau aja saat itu gue kalut dan nampar muka adik gue itu di depan umum.

Haduh mati gue!

"Demi Tuhan, kak! Ibu udah tau sendiri. Bukan dari gue! Gue belom bilang ke siapapun kecuali lo! Sumpah!" Pekik Vivi gak kalah keras.

Gue menatap matanya yaang ketakutan. Gue juga yakin Vivi gak akan secepu itu, gue nya aja yang kelewat panik. Rama udah tegang. Mungkin dia sadar kalau masalah ini bukan ranahnya untuk ikut campur, tapi pasti dia akan melindungi tunangannya kalau lagi dalam masalah gini.

Budak cinta!

Gue gak tau sih seseram apa muka gue saat ini. Kayak pemain tinju kali? Tapi yang paling bikin gue keki sedunia ya, manusia satu di samping gue ini sempet-sempetnya foto-fotoin gue, Vivi dan Rama dalam ekspresi yang anjir banget lah! Lagi kacau giniiiii....

Cekrek cekrek cekrek!

"Silahkan dilanjut sarapannya, kita gak punya banyak waktu." Ucapnya datar kayak anak polos yang gak ngerti dosa. Anjir gue kesel tapi mau ketawa! Bisa-bisanya ya dia....Suasana tegang langsung terganti jadi salting-salting kocak gini. Duh sumpah paling gak bisa gue yang gini nih, hahaha.

Mau gak mau gue terkekeh akhirnya, "Ha..ha..ha."

Gue lihat Rama kembali duduk dengan hati-hati sambil nahan ketawa. Vivi malah senyam-senyum ngeliatin gue sama mas Tama.

"Haha... Kak, lo bikin gue takut sialan!" Umpatnya sambil mengelap air mata tapi dia ketawa juga. Rama mengelu-elus punggungnya sambil ketawa bego juga.

"Ya lo bikin gue serangan jantung ngomong gitu ke ibu!" Jawab gue salah tingkah.

Mas Tama mengembalikan kamera Rama kepemiliknya. "Bagus banget ekspresi kalian!" Katanya.

"Pinjem kamera lo sini, Ram!" Pinta gue.

"Buat apa? Kamera lo lebih mahal!"

Gue ambil secara paksa. "Mau gue hapus foto unfaedahnya!" Jawab gue kesal.

"Enak aja! Gak bisa!" Terus Rama merebut paksa lagi kamera itu dari tangan gue.

"Buat kenang-kenangan ya, mas Rama?"

Duuuh setan kampret ini bikin gue pengen meluk- eh nendang aja sih?! Gak kuaaaat.

Note:

Sayanya gregetan! Nih langsung dua chapter deh hari ini...

TOKYO, The Unexpected GuyWhere stories live. Discover now