38. Before the Sunrise

29.2K 3.6K 422
                                    

Saat dihadapkan dengan rundown acara siraman sesuai adat jawa hari ini, gue yakin Vivi bakal lemes banget karena banyaknya rentetan acara yang harus dia jalani, tapi meski begitu rona bahagia di wajahnya gak hilang sedikitpun. Adik gue itu kelihatan makin kurus, entah karena dietnya berhasil atau memang terlalu banyak pikiran. Jujur aja gue gak tega liatnya. Apa lagi udah seminggu ini dia gak diizinin ketemu Rama.

Lain cerita sama gue yang belakangan ini suka ada makhluk astral yang ngikutin gue kemana-mana. Miss Dewi bilang kalau gue keberatan diikutin sama makhluk itu, dia rela tuker posisi. Masalahnya si makhluk ini udah kayak benalu aja gitu gue liatnya. Oke, gue tau dia emang masih dalam masa 'liburan' setelah banting tulang di negeri sakura sana, tapi harusnya dia tuh spent waktu lebih banyak sama keluarganya, kan? Bukan sama gue gini.

Berbekal tampang diatas rata-rata yang dia punya, belum lagi kumis tipis unyu yang kayaknya sengaja dibiarkan tumbuh, ditambah baju koko dengan warna senada sama abaya yang sedang gue kenakan, mungkin Tama boleh percaya diri ikut-ikut nimbrung sama keluarga gue. Toh siapa pun yang ngobrol sama dia nyambung-nyambung aja tuh. Padahal dia kan tour guide gadungan ya?

"Jangan deket-deket aku mulu ih!" Protes gue karena Tama gak sadar-sadar banyak sanak saudara gue yang melemparkan pandangan seakan bertanya siapa cowok ini. Maklum lah bertahun-tahun yang gue ajak kalau ada acara keluarga kan si Bayu. Tiba-tiba bawa ehem... cowok baru kan pada kepo mereka. Ih asyik ya nyebutnya cowok baru! Hahaha.

Sambil sedikit bergeser, Tama menatap gue kecewa. "Emang kenapa sih, Han?" Tanya dia.

Bukan apa-apa sih, cuma gue rasa masih terlalu cepat kalau gue ngenalin dia ke keluarga besar gue sekarang. Apalagi pas momennya Vivi married gini, khawatir ada spekulasi yang gak gue inginkan dari orang-orang tersebut. Lagian siapa bilang gue sama dia udah resmi jadian? Lha barusan lu nyebut cowok baru Hani!

"Kamu di luar aja lah!" Iya ngerti kok gue sadis. Ya lagian sih Tama gak berusaha untuk peka.

"Aku juga dapat undangan dari adik kamu ya. Masa kamu mau ngusir undangan?" Sahutnya gak terima.

"Kan aku udah bilang datang pas resepsi aja, kenapa hari ini kamu ke rumah aku juga? Udah tau bakal banyak saudara." Jawab gue.

Tama gak nyautin lagi. Gue udah biasa menghadapi sikapnya yang tiba-tiba diem gak mau bicara kayak gini, walaupun gue masih belum tau apa alasannya. Mungkin dia kesel, tapi malas ribut, bisa aja kan.

Prosesi yang berada diurutan paling atas sebelum dilakukan siraman adalah sungkeman. Mulai dari Mbah Uti, Ayah dan Ibu, bude-bude berikut gue diminta untuk berjejer. Sumpah sih gue paling males dipajang-pajang begini, mending kalau nggak pake dipandang kasihan sama orang-orang. Lha ini tiap ketemu pake ada pertanyaan kapan nyusul lah, suruh sabar dilangkahin lah, apalah itu semua! Padahal gue sudah mencoba bersikap biasa aja.

"Di depan nanti kalau kamu gak mau liat mereka semua, liatin aku aja ya." Ucap Tama berusaha menguatkan. Tuh gimana nggak gemes gue? Dia padahal tahu persis apa yang jadi unek-unek gue, tapi selama ini malah pura-pura sok gak peka. Dasar cowok!

Gue tersenyum singkat membalas kebaikannya. "Makasih, Tama." Dari tadi dong ganteeeeng!

Mulai dari Uti sampai ke gue, Vivi melakukan sungkem terhadap kami satu persatu dibimbing oleh pembawa acara. Sambil mengucapkan kalimat yang intinya minta maaf, air matanya sudah gak bisa dibendung lagi, ngalir deras persis air terjun. Kayaknya suara isak tangis yang dikeluarkan Vivi membuat seluruh orang yang hadir ikut menangis. Apalagi ketika dia berlutut tepat di depan gue, lalu membuat gue sendiri pun berpikir kenapa MC nggak membimbing dia sungkeman seperti ke Mbah Uti dan yang lainnya.

TOKYO, The Unexpected GuyWhere stories live. Discover now