SEMBILAN

2.3K 193 42
                                    

Sepulang sekolah, Akbar tidak bisa menjemput Ainun secepat biasanya. Sedikit terlambat, karena mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan di hari itu juga. Biasanya, Akbar tak pernah peduli pada tugas sekolah, tetapi kali ini ia harus mengerjakannya, agar tidak mendapat hukuman beruntun. Mau tak mau dia harus meluangkan waktunya..walau sedikit malas.

Tak lupa, Akbar mengirim pesan kepada Ainun. Agar Ainun tidak terlalu menunggunya.

Tunggu sebentar, saya ngerjain tugas dulu.
Kalau mau pulang duluan, sok aja. Maaf ya.

Tak ada balasan dari Ainun, dan Akbar pun tidak sempat mengecek ponselnya lagi. Karena terlalu sibuk mengerjakan tugas agar segera selesai. Ia tergesa, dan merasa tak enak jika Ainun menunggunya.

Hanya dengan waktu setengah jam, ia sudah mampu menyelesaikan semuanya. Akhirnya ia lega. Ia segera bergegas membereskan semua barang bawaannya. Lantas pergi menuju parkiran tempat dimana motornya berada.

Tiba-tiba ketika baru saja ia keluar dari ruangan kelas. Ada yang memegang bahunya dari belakang.

"Bar, basket moal? Hari ini ada tanding persahabatan antar sekolah, masa maneh ga dateng" Itu Ilham.

"Moal euy, ada urusan" Kata Akbar menolak.

"Urusan naon atuh? Banyak alasan pisan. Aslina ieu ga ada pemain lagi, pada ga datang. Masa kalau dibatalin mah, ga enak atuh" Kata Ilham memelas.

"Asli ieu mah, ga bisa. Ada janji euy" Jawab Akbar seolah tak merespon keluhan Ilham.

"Ayolah Bar, butuh pemain hiji deui, si iki teu bisa deuih" Ilham tak menyerah.

"Ah geus ah, buru-buru" Tanpa respon Akbar meninggalkan Ilham lantas tergesa-gesa menuju parkiran.

Walau ada kendala. Moodnya masih baik karena tahu ia akan bertemu Ainun hari ini. Dengan mood baik itu, ia tak sabar bertemu Ainun. Dinyalakanlah motor, lalu pergilah dia.

***

Beberapa meter dari gerbang sekolah, seketika Akbar berhenti. Dan terdiam dengan wajah datar. Tak ada ekspresi apapun yang ia tampilkan. Dan ia memerhatikan dua orang yang sedang bicara di depan gerbang, seperti dekat.

Itu Ainun dengan sosok lelaki yang sedang menaiki motor, berhadapan. Dan kagetnya lagi, ternyata, lelaki itu adalah Iki, teman sekelas sekaligus musuh bebuyutan Akbar.

Akbar banyak bertanya-tanya dalam hati,

'Mau apakah dia?'

'Mengapa dia ada disini?'

'Kenapa harus dia?'

Begitu kira-kira tanyanya dalam hati.

Saking asyiknya mengobrol, Akbar yang sejak lima menit lalu ada memerhatikan, sampai tidak disadarinya. Padahal jarak Akbar yang tidak terlalu jauh, bahkan bisa disadari keberadaannya hanya dengan menoleh saja. Tetapi, pada saat itu, Ainun terlalu fokus mengobrol. Entah membicarakan apa.

Tak lama, Ainun menaiki motor ditumpangi Iki. Ada apa ini?

Setelah mereka pergi, Akbar mengeluarkan ponselnya. Lalu mengetik sebuah pesan.

Maaf saya ga bisa anter pulang kayanya, kamu naik angkutan umum aja. Ini belum selesai. Sekali lagi, maaf ya.

Lalu Akbar mematikan ponselnya, lantas ia simpan di saku pada seragam sekolahnya. Dengan wajah datar, ia bergegas pulang.

***

Selama perjalanan, benar-benar ia tak menampakkan perasaan apapun di wajahnya. Tak nampak wajah sedih apalagi bahagia. Saat ini, perasaannya sangat sulit ditebak, bahkan oleh orang terdekat sekalipun. Ia benar-benar menyembunyikannya.

Sesampainya dirumah, ia mengganti pakaian dengan setelan olahraga. Ia ingat bahwa tadi ada tanding basket dengan sekolah lain, daripada ia tak melakukan apa-apa, lebih baik ia berolahraga, kira-kira begitu pikirnya.

Tak perlu lama, ia sudah siap bergegas kembali ke sekolah, untuk tanding basket sesuai yang direncanakan. Walau ia tadi bersikeras menolak, akhirnya ia memutuskan datang. Entah atas dorongan apa.

Setelah sampai, ia memarkirkan motornya dijajaran motor yang sudah ada. Walau tak sepadat biasanya. Karena kebanyakan siswa sudah pulang sesaat setelah bel dibunyikan.

Akbar berjalan menuju lapangan, dengan tas sepatu yang ia selempangkan pada bahunya. Ia berjalan gagah tanpa ekspresi, lagi.

Terlihat dari kejauhan, di lapangan sudah ada beberapa anak basket, tak banyak. Sedang memainkan bola, seperti anak basket pada biasanya. Akbar duduk di tepi lapang, lalu mengganti sandal jepitnya menjadi sepatu olahraga.

Ilham yang sedang bermain, menghampiri..

"Naha datang? Katanya ada urusan" Kata Ilham bertanya.

"Teu jadi" Jawab Akbar singkat.

"Pemanasan dulu" Balas Ilham, dan Akbar hanya mengangguk. Lalu, Ilham pergi lagi ke tengah lapang untuk bermain.

Tak ada kejadian spesial hari ini, Akbar hanya menuntaskan bermain basketnya, tanding lalu pulang. Semua waktu dihabiskan tanpa memberi kabar Ainun. Ia benar-benar terlihat ingin sendiri.
Tak digangggu sama sekali. Begitulah hari ini.

***

Malam itu, setelah sore tadi Akbar tidak bisa mengantar. Ainun merasa aneh karena tak biasanya Akbar tak memberi kabar. Ia mencari tahu apa ada yang salah dari sikap atau perlakuannya yang membuat Akbar tak seperti biasanya. Tetapi, tak ia temukan, karena menurutnya semua baik-baik saja.

Dan ada keengganan Ainun untuk mengirim pesan duluan. Ada ketakutan tak dapat balasan, ada ketakutan diabaikan. Jadi ia hanya bisa menahan. Entah apa yang ia pikirkan sampai anti sekali dengan kata 'duluan'.

Ainun hanya berbaring di kamar, tak lupa menyalakan musik dan memutar lagu kesukaan. Sesekali ia melihat ponsel dan berharap ada pesan masuk setidaknya satu dari Ahmad, alias Akbar.

Malam ini Ainun habiskan dengan menunggu, tetapi tak kunjung ada pesan. Dan akhirnya ia tertidur dengan posisi ia masih menggengam ponsel. Mungkin, ketika tidur pun, ia masih mengharapkan kabar. Baginya, hari ini menjadi hari yang sangat melelahkan.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 05, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Berawal Dari AhmadWhere stories live. Discover now