01. Gagal pergi

15.3K 597 93
                                    

Salah satu rumah di kawasan Intan Permata, Jakarta Pusat, yang memiliki tingkat dua dengan rooftop. Rumah berwarna kream dan berpagar putih itu memiliki halaman yang luas dihiasi berbagai macam bunga cantik.

Di dalammya, seorang gadis kecil mengenakan baju berwarna biru berlengan pendek dengan gambar beruang besar dilapisi jaket jeans berwarna biru yang tidak dikancingkan, celana jeans hitam, dan rambut yang dibiarkan tergerai.

Dia berjalan cepat menuruni tangga sambil menyeret koper kecil yang memiliki warna senada dengan baju yang dikenakannya. Dia adalah Rara Fanisha Alfarizi yang kerap disapa Fani.

Ketika sampai di bawah, Fani celingak-celinguk mencari orangtuanya. Saat matanya mencari, dia melihat orangtuanya sedang duduk bersantai di sofa depan televisi. Dengan televisi yang tidak dinyalakan.

"Ma, Pa," panggilnya setelah berdiri di depan mama dan papanya.

"Eh? Anak Mama mau kemana? Kok bawa-bawa koper segala? Hem?" tanya mamanya, Andina Alfarizi. Menarik tangan Fani lembut untuk duduk.

"Mama sama Papa lupa? Hari ini, kan ulang tahun aku sama Fina. Kita mau ke villa Opa yang ada di puncak." Fani mengerucutkan bibirnya kesal.

"Sayang, kita gak jadi pergi ke puncak, ya?" ucap papanya, Friansyah Alfarizi sambil menghela napas.

"Kenapa, Pa?" tanya Fani lirih.

"Fina nggak mau ke puncak." Rian mengusap kepala Fani.

"Tapi, kan Mama sama Papa udah janji." Fani kembali mengingatkan janji orangtuanya.

Ditatapnya mata Rian dan Dina bergantian. Di mata Fani, menyiratkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. Membuat Rian dan Dina saling berpandangan.

"Udahlah Fani, kan lebih enak jalan-jalan di Mall, dari pada ke puncak apa enaknya!" suara Fina yang baru keluar kamar menginsterupsi percakapan mereka.

Fina mengenakan pakaian yang sama dengan Fani. Hanya saja, warna baju lengan pendek Fina berwarna pink dan Fani biru. Benar-benar anak kembar.

"Kamu diem aja Fina! Aku lagi ngomong sama Papa Mama! Kamu berisik tau! Sakit telinga aku denger kamu ngomong!" kesal Fani membentak Fina dengan suara tinggi.

Bahkan, Fani sudah berdiri dan langsung menolak bahu Fina. Karena tolakan Fani yang tiba-tiba, membuat Fina tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Mengakibatkan, tubuhnya jatuh terjerambab.

Mereka semua terkejut, tidak terkecuali Fani. Fina menangis dengan kencang saat merasakan sakit di dahinya. Dahi Fina sudah terlihat merah kebiru-biruan.

Rian dengan segera menghampiri Fina yang menangis. Menggendongnya agar tangisnya mereda. Rian kemudian memberikan Fina pada istrinya dan menghampiri Fani yang mematung.

Tangan Rian mengepal, rahangnya mengeras dan wajah pria itu memerah karna amarah. Fani berdiri ketakutan di tempatnya.

"Gara-gara kamu, Fina nangis! Kamu punya matakan?! Lihat dahi kembaran kamu! Itu semua gara-gara kamu!" Rian menarik tangan Fani kasar menaiki tangga.

Sampai di kamar, Rian mengambil rotan di pinggir kamar. Memukulkannya ke punggung Fani. Meski pelan, namun bagi anak seumuran Fani itu begitu menyakitkan.

Fani memekik saat merasakan rotan tadi mendarat dengan mulus di punggungnya. Sakit, perih dan panas Fani rasakan di punggungnya. Air mata luruh membasahi kedua pipi chubby Fani.

"Papa nggak pernah ngajarin kamu buat jadi anak nggak sopan kaya tadi!" Rian melayangkan rotan tadi berulang kali, hingga lima pukulan. Kemudian melayangkan dua pukulan lagi ke kaki Fani.

Kami Sama Tapi Berbeda {END}Where stories live. Discover now