05. Hantu?

8.9K 418 40
                                    

Tok.... Tok....

Suara ketukan pintu menginsterupsi Rian yang tengah berkutat dengan berkas-berkas di depannya.

"Masuk," dengan tidak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas di depannya Rian menjawab.

"Papa!" teriakan yang sudah sangat familiar terdengar saat pintu telah terbuka.

Rian baru mengalihkan tatapannya dari berkas ke depan pintu ruangannya. Di sana sudah terlihat kedua anak kembarnya dan istri yang sangat disayanginya.

"Udah pulang sekolah?" tanya Rian melepas kacamata bacanya.

"Udah, Pa." Fina berlari mendekati Rian, memeluk laki-laki itu dengan erat.

Lain halnya dengan Fani yang hanya diam. Lalu berjalan ke sofa yang ada di pojok ruangan dekat pendingin. Fani mejatuhkan dirinya ke atas sofa.

Matanya terpejam, dia terlihat sangat lemas. Dina yang melihat itu, ikut duduk di sebelah Fani yang memejamkan mata, mengelus rambutnya dengan sayang.

"Mama," ucapan tak bersemangat itu keluar dari bibirnya diikuti dengan matanya yang terbuka.

Fani menjatuhkan kepalanya kepangkuan Dina. Kembali memejamkan mata, tubuhnya terasa sangat lemas dan letih.

"Kamu kenapa? Kok kelihatan lemas banget gini?" Dina memegang dahi Fani, yang langsung membuatnya tersentak.

Badan Fani begitu panas, hingga kelopak matanya terlihat sangat merah. Bibirnya juga terlihat pucat.

Fani tidak menjawab, dia hanya diam. Kepalanya terasa sangat sakit, perutnya juga masih terasa sakit. Semua badannyapun ikut menjadi sakit.

"Ma, tadi Fani pingsan waktu upacara," ucapan Fina sontak membuat Dina dan Rian terkejut.

"Kenapa kamu bilang sama Mama, sih?" Fani dibuat kesal karna kembarannya itu memberitahu mamanya.

"Kenapa bisa pingsan?" Rian menyuarakan kebingungannya dari tadi.

"Kata Ibu dokter, gara-gara Fani nggak sarapan, Pa."

Fina terlihat semakin menjengkelkan di mata Fani. Tapi dia tidak bisa berbuat lebih, tubuhnya benar-benar terasa lemas dan letih.

"Salah sendiri tadi pagi nggak sarapan. Masih syukur bisa makan, malah nggak mau makan." Rian berucap malas.

Fani yang telah duduk hanya bisa menundukkan kepalanya dalam. Bukan perhatian yang ia dapatkan tapi malah kemarahan papanya.

Sungguh, dia merasa sangat sedih. Hingga tanpa sadar, air mata mulai menetes dari kedua matanya. Fani mengusap air matanya dengan cepat, meski kembali turun.

Dina melihat anak pertamanya hanya menunduk dan tangan anaknya mengusap matanya berulang kali. Dina sadar, Fani menangis. Dia mendekap Fani dengan erat, berusaha membuat Fani tenang.

"Udahlah, Pa. Fani lagi sakit ini. Badannya panas banget. Jangan dimarahi." Dina mengelus rambut Fani.

Dalam dekapan mamanya, Fani tersenyum. Setidaknya, saat papanya marah masih ada sosok mama yang memeluknya dengan sayang.

Perlahan, mata Fani terpejam. Dia tertidur karena tubuhnya yang lemas dan lelah. Dina menyadari Fani telah tertidur, membaringkan Fani ke sofa. Mereka keluar dari ruangan Rian untuk makan siang. Meninggalkan Fani yang tertidur dengan nyenyak.

Melupakan anak kecil itu yang tertidur sendirian. AC yang memang dinyalakan dengan suhu yang begitu rendah dan tanpa selimut yang menyelimuti tubuh kedinginannya.

Ya, dia kedinginan tanpa ada yang tahu. Bahkan tubuhnya sudah sangat dingin dan menggigil hingga terdengar gemerletuk giginya yang beradu.

🐰🐰🐰

Kami Sama Tapi Berbeda {END}Where stories live. Discover now